Perceraian dan Pernikahan Kembali

Pertanyaan

Berdosakah bagi seorang Kristen yang telah bercerai untuk menikah kembali?

Jawaban

Apakah seorang Kristen yang telah bercerai dapat menikah kembali atau tidak tergantung keadaan dari perceraiannya, dan dari beberapa hal tergantung sikap dari kedua bekas pasangan setelah perceraian.

Pada umumnya, orang Kristen tidak bebas untuk menikah kembali (Mat. 5:32; 19:9; Mk. 10:11-12; Luk. 16:18; 1 Kor. 7:10-11). Hal ini dikarenakan Allah menganggap pernikahan sebagai sebuah perjanjian kudus, dimana sumpah pernikahan bersifat mengikat. Allah tidak melepaskan kita dari perjanjian atau sumpah hanya karena kita tidak lagi bersedia untuk menepatinya. Sebuah pasangan yang telah bercerai mungkin statusnya bercerai di mata hukum sipil, namun tidaklah di mata Allah (Mat. 19:3-7; Mk 10:6-9). Oleh karenanya, jika salah satu dari pasangan yang bercerai menikah kembali, orang tersebut sesungguhnya sedang berzinah.

Namun, ada beberapa pengecualian atas hal ini. Pertama, jika pasangan A menceraikan pasangan B oleh karena pasangan B tidak setia, maka perjanjian pernikahan mereka dapat secara sah dibatalkan (Mat. 5:32; 19:9). Kedua, jika pernikahan terjadi antara seorang percaya dan tidak percaya, perjanjian nikah mereka dapat secara sah dibatalkan jika yang tidak percaya menceraikan yang percaya (1 Kor. 7:15). Hal ini tidak berlaku dua arah – yang percaya tidak boleh meninggalkan yang tidak percaya (1 Kor. 7:12-13).

1 Korinthians 7:10-16 mengindikasikan bahwa pernikahan antar orang yang belum percaya tidaklah diikat seperti ini. Jika seseorang bercerai sebelum menjadi orang beriman, maka dia bebas untuk menikah kembali sebagai seorang Kristen.

Ada juga yang berargumen bahwa perceraian Kristen bisa saja terjadi secara sah jika suami mengabaikan istri, atau sebagian lagi merasa ini boleh terjadi jika terjadi kekerasan. Mereka membela pengecualian yang dikarenakan pengabaian berdasarkan 1 Timotius 5:8, yang menjabarkan bahwa seorang kepala keluarga yang gagal untuk menafkahi keluarganya sesungguhnya telah menyangkal imannya dan lebih buruk dari seorang tidak percaya. Dalam hal seseorang gagal untuk menafkahi keluarganya, terlepas dari iman yang dipegangnya, maka tindakannya tersebut mewajibkan gereja untuk beranggapan bahwa dia bukan orang percaya. Berarti, jika dia meninggalkan istrinya, maka istrinya bebas untuk menikah lagi sesuai 1 Corintus 7:12-13. Kekerasan kadang juga dianggap sebagai satu bentuk “pengabaian” atas dasar suami sebenarnya praktis sudah mengabaikan keluarganya sekalipun masih menjadi bagian dari rumah tangga tersebut.

Secara pribadi, walau saya rasa argumentasi tentang pengabaian ini cukup masuk akal, saya merasa sulit mendasarkan pengecualian karena kekerasan dalam Firman. Tentu saya sangat berempati terhadap korban kekerasan dan pasti akan mendukung upaya mencari hikmat menuju perceraian (1 Kor. 7:11). Saya juga merasa mungkin dapat berargumentasi atas dasar 1 Timotius 5:8 bahwasanya pelaku kekerasan “lebih buruk dari seorang tidak percaya,” tergantung tingkat dan definisi dari “kekerasan.” Namun demikian, bahkan jika jika mengaggap pelaku kekerasan bukan orang percaya, Alkitab tidak mengajarkan orang percaya dapat meninggalkan yang tidak percaya untuk kemudian menikah kembali.

Dalam hal tindakan-tindakan pasca perceraian yang mungkin dapat memberikan keabsahan dari sebuah pernikahan kembali, sebuah pasangan yang telah bercerai secara tidak sah sebenarnya masih menikah. Oleh karenanya, jika salah satu pasangan menikah kembali atau terlibat dalam hubungan seksual dengan yang lain selain pasangannya yang telah ditinggalkan, maka orang tersebut telah melakukan perzinahan. Berdasarkan hal inilah, pasangan yang lain dapat secara sah memilih untuk membatalkan perjanjian nikahnya.

Begitu sebuah perjanjian pernikahan telah dibatalkan secara sah, saya yakin bahwa kedua belah pihak sudah bebas untuk menikah kembali. Bahkan pasangan yang melakukan perzinahan atau pengabaian juga bebas untuk menikah kembali sesaat pasangan yang mejadi korban melepaskan dia dari ikatan dan kewajiban perjanjian. Dibutuhkan dua belah pihak untuk berada dalam perjanjian. Pihak A tidak dapat berada dalam perjanjian dengan pihak B jika pihak B tidak berada dalam perjanjian dengan pihak A.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A