Api Pencucian vs. Lahir Baru

Pertanyaan

Saya baru membaca argumentasi ini dimana si penulis menolak api pencucian berdasarkan adanya lahir baru. Apakah anda setuju dengan yang disampaikan ini?

1. Untuk hidup dalam kekekalan bersama Tuhan, seseorang harus dilahirkan kembali (Yohanes 3:3-8; 1 Pet. 1:23).
2. Ada hukum usaha manusia…dan hukum kebenaran. Hukum kebenaran melampaui hukum usaha manusia (Rom. 9:31-32; 2 Kor. 3:6; Gal. 2:16,21; 3:23-25).
3. Orang yang lahir baru sudah disempurnakan. Tubuh jasmani kita tidak ke surga atau neraka. Roh kitalah yang ke sana. Tubuh kita memiliki hukum dosa di dalamnya... dan akan tetap memilikinya sampai mereka kembali ke asal mereka yaitu debu tanah. Ketika seseorang menerima lahir baru, Roh Kudus menghidupkan roh kita dan menjadikannya 'chaim' ... KEHIDUPAN. Dia ‘melahirkan’ roh yang baru di dalam kita. Oleh karenanya muncul istilah ... dilahirkan kembali... atau lahir baru. Jika sesuatu dilahirkan dari daging, maka hal tersebut rusak. Jika dilahirkan dari Roh… hal itupun kudus dan benar. Ini sebabnya mengapa tubuh kita tidak dapat masuk ke dalam kekekalan. Sesuatu yang telah diciptakan oleh Roh Kudus secara spiritual adalah kudus dan benar dan TIDAK BUTUH DISEMPURNAKAN... oleh apapun. Upaya penyempurnaan telah diselesaikan. Tidak dibutuhkan lagi api pencucian apapun. “Sudah selesai.” (Ef. 4:21-24; 1 Yoh. 3:8-9)
4. Setelah “lahir baru,” hukum dosa dalam tubuhmu berperang melawan hukum kebenaran yang telah diciptakan dalam rohmu yang baru (Rom. 7:15-8:1).

Jawaban

Karena membaca ini di luar konteks, saya sedikit kesulitan mengikuti hubungannya dengan doktrin api pencucian Roma Katolik, namun sepertinya memang bukan ini fokusnya. Saya berasumsi bahwa orang ini menentang api pencucian berdasarkan bahwa tubuh jasmani kita tidak masuk surga.

  1. Perihal poin pertama argumentasi ini (yaitu seseorang harus dilahirkan kembali untuk masuk surga): Bagian ini jelas dan benar.

  2. Perihal poin kedua argumentasi ini (yaitu ada hukum usaha manusia dan hukum kebenaran): Poin ini sedikit lebih rumit dari apa yang ditampilkan oleh argumentasi tersebut. Sebenarnya, Alkitab berbicara tentang banyak jenis “hukum,” dan banyak di antara mereka pada hakekatnya sama seperti Taurat Musa. Yang lainnya hanyalah prinsip dan bukanlah kode status. Namun apapun situasinya, frasa “hukum kebenaran” dan “hukum usaha manusia” tidaklah paralel – paling tidak bukan dalam cara mereka biasanya digunakan. Relasi frasa preposisi (“dari kebenaran” dan “dari upaya manusia”) terhadap kata “hukum” sesungguhnya berbeda. Dalam konteks Roma 9, “hukum (dari) kebenaran” adalah hukum yang membuahkan atau menghasilkan kebenaran. Sebaliknya, frasa “hukum (dari) usaha manusia” (yang sebenarnya tidak muncul dalam teks Firman yang dikutip), bukanlah hukum yang membuahkan atau menghasilkan pekerjaan, justru sebaliknya ini adalah hukum yang membutuhkan usaha sebagai basis menerima upah (sebagaimana dalam frasa “oleh usaha hukum” yang tidak muncul dalam kutipan Firman).

  Poin yang ingin disampaikan justru tidak berdasar, pertama karena membandingkan apel dengan jeruk. Hukum dapat berupa “usaha” dan “kebenaran” pada saat yang bersamaan. Misalnya, Yesus menaati hukum dengan sempurna sehingga oleh karenanya menerima upah yang dijanjikan, yang termasuk kebenaran. Oleh karenanya, hukum berarti keduanya hukum (dari) usaha (yang membutuhkan usaha sebagai dasar upah) dan hukum (dari) kebenaran (yang menghasilkan upah kebenaran).

  Kedua, dasar klaim ini juga salah karena di Roma 9:31 “hukum (dari) kebenaran” bukanlah hal yang baik, namun argumentasi yang sedang dipertanyakan ini justru menyodorkan “hukum (dari) kebenaran” sebagai sesuatu yang benar dan berkuasa yang “melampaui hukum usaha manusia.” Di Roma 10:1-6, kita temukan bahwa hukum kebenaran yang disebutkan di Roma 9:31 adalah upaya orang Yahudi untuk menciptakan kebenaran mereka sendiri dengan melakukan pekerjaan baik – namun hal inilah yang sesungguhnya dikutuk Paulus. Perihal orang percaya, “Kristus adalah akhir dari hukum kebenaran” (Rom. 10:4). Kontras di sini bukanlah antara “hukum usaha manusia” dan “hukum kebenaran,” namun sebaliknya antara kebenaran yang didasarkan pada ketaatan pada hukum (“hukum kebenaran”) dan kebenaran yang didasarkan pada iman dalam Kristus (Rom. 10:6). Sebagaimana yang disajikan di Roma 9-10, “hukum kebenaran” dan “hukum usaha manusia” sebenarnya sinonim. Menariknya, poin yang saya argumentasikan di sini sebenarnya dikonfirmasikan oleh salah satu teks pendukung dalam argumentasi di atas: Galatia 2:21.

  3. Perihal poin ketiga dari argumentasi tersebut (bahwa tubuh kita tidak masuk surga): poin ini sepenuhnya salah – hal ini terang-terangan bertolak belakang dengan pengajaran Firman. Sesungguhnya, persis hal inilah bidat yang disanggah Paulus di 1 Korintus 15 – bacalah pasal ini sepenuhnya, karena menyajikan sebuah peristiwa yang indah akan kebangkitan tubuh jasmani yang kekal bagi orang percaya. Dalam pasal tersebut, Paulus menyerang pandangan bahwa tubuh kita tidak akan dibangkitkan. Dia berargumentasi bahwa sama halnya Kristus dibangkitkan dalam tubuh jasmaniNya, demikian pula kita akan dibangkitkan dalam tubuh jasmani kita. Sesungguhnya, Paulus demikian menekankan hal ini sampai berkata bahwa jika tubuh kita tidak akan dibangkitkan, berarti bahkan Kristuspun tidak dibangkitkan, yang berarti kita semua akan masuk neraka karena injil salah (1 Kor. 15:12-14). Bagi Paulus dan penulis Perjanjian Baru lainnya, kebangkitan tubuh jasmani yang kekal bagi orang percaya, yang akan terjadi ketika Kristus kembali untuk penghakiman terakhir, adalah kebenaran dasar injil (baca juga Mat. 22:23-32; Markus 12:18-27; Lukas 20:27-38; Yoh. 5:28-29; 11:24-26; Kis. 17:30-31; 23:6-8; 24:14-15; Rom. 6:5; Rom. 8:23-25; Fil. 3:10-11; 2 Tim. 2:18).

  Dalam konteks argumentasi yang menentang kebangkitan orang percaya, argumentasi yang dipertanyakan di atas juga mengatakan bahwa orang yang telah dilahirkan kembali telah disempurnakan. Klaim ini juga jelas-jelas salah. Alasan yang paling jelas adalah bahwa tubuh kita, yang merupakan bagian dari diri kita dan yang akan diselamatkan dalam kebangkitan, belumlah disempurnakan. Paulus menegaskan poin ini secara gamblang di Roma 8:23-25. Di Roma 6:1-8:39, salah satu hal yang dia argumentasikan adalah bahwasanya roh kaum percaya telah diregenerasikan (orang percaya telah lahir baru), namun orang percaya masih menantikan penebusan/kebangkitan tubuh jasmani mereka. Jika Allah telah selesai menyelamatkan dan menyempurnakan kita, maka kitapun tidak akan pernah lagi berdosa, dan saat inipun kita telah memiliki tubuh kebangkitan kita.

  Demikian pula, argumentasi bahwa apapun yang lahir dari daging itu rusak dan tidak mampu diselamatkan juga sepenuhnya salah. Adam dan Hawa diciptakan dengan tubuh dan tubuh jasmani mereka tidak rusak (sekalipun mereka dapat dirusakkan). Yesus sendiri dibangkitkan dari kematian di dalam daging, dan tubuhNya sempurna bersamaNya di surga (Kis. 2:31-33; 1 Yoh. 4:2-3). Perhatikan juga bahwa sekalipun tubuh manusia berdosa telah dirusak oleh dosa, demikian jugalah halnya dengan roh mereka. Sama seperti Allah mampu menyelamatkan roh kita, Dia pun mampu menyelamatkan tubuh jasmani kita. Tidak ada yang mendebatkan bahwa tubuh yang tidak ditebus hidup dalam kekekalan di surga. Argumentasinya ialah bahwa kita memiliki tubuh yang telah ditebus, disempurnakan, dan tidak berdosa di sorga.

  Mungkin bagian paling aneh dari bagian argumentasi ini adalah teks pendukungnya (Ef. 4:21-24; 1 Yoh. 3:8-9). Tidak satupun dari teks-teks ini menyebutkan tubuh kita. Penulis argumentasi ini sepertinya berpikir bahwa di Efesus 4:21-24 “manusia lama” merujuk pada daging/tubuh kita, sementara “manusia baru” merujuk pada roh kita. Namun, ide is sama sekali tidak ditemukan di suratan Efesus (saya menduga penulis argumentasi ini mengambil idenya dari Rom. 7:14-25). Di Efesus, maksud Paulus bukanlah bahwa tubuh kita dirusak sementara roh kita diselamatkan. Sebaliknya, maksudnya adalah bahwa kita jangan berlaku seperti dulu sebelum diselamatkan. “Manusia lama” adalah pribadi anda sebelum diselamatkan (baca Ef. 4:17-19), dan “manusia baru” adalah pribadi anda yang baru yang telah anda terima dan sedang terus mengalami pembentukan (Ef. 4:20-24). Inilah sebabnya mengapa Paulus mengawali bagian ini dengan mengatakan bahwa orang Kristen “jangan lagi hidup seperti orang yang tidak mengenal Allah, dalam kesia-siaan pemikiran mereka” (Ef. 4:17), dan mengapa dia menekankan hal ini dengan menyebutkannya kembali di Efesus 4:22 (“cara hidupmu yang dulu,” atau “cara berbicara yang dulu” di KJV [memang bukan terjemahan yang baik untuk hal ini]).

  Penulis argumentasi ini kelihatannya mengutip 1 Yoh. 3:8-9 demi membuktikan bahwa orang percaya tidak lagi berdosa, paling tidak dengan/di dalam roh mereka. Bagian Firman ini berbicara tegas tentang hidup orang percaya, namun sama sekali tidak membicarakan tentang tubuh kita melawan roh kita. Sebenarnya, kata Yunani bagi “tubuh” (soma) sama sekali tidak muncul dalam suratan ini. Kata “daging” (sarx) muncul dua kali, satu kali dengan konotasi negatif (“keinginan daging” [1 Yoh. 2:16]), dan satu kali dengan konotasi positif (“Yesus Kristus telah datang di dalam daging” [1 Yoh. 4:2]). Terlebih lagi, sekalipun Yohanes menyampaikan di 1 Yoh. 3:1-10 bahwa orang percaya tidak berdosa, pada awal suratan ini dia mengatakan bahwa mereka berdosa (1 Yoh. 1:7-2:2). Cara paling konsisten untuk merekonsiliasikan bagian ini adalah memperhatikan bahwa di 1 Yoh. 1:7-2:2 Yohanes sepertinya berbicara tentang perbuatan dosa yang terkadang terjadi (“jika seseorang berdosa” [1 Yoh. 2:1]). Ini hal yang sama yang Yohanes sebutkan di 1 Yoh. 5:16 ketika dia berkata bahwa orang Kristen harus saling mendoakan saat mereka melihat saudaranya berdosa. Namun di 1 Yoh. 3:1-10, Yohanes berbicara tentang sebuah gaya hidup yang terbiasa berkanjang dosa, yang cukup untuk menunjukkan bahwa orang tersebut pasti tidak memiliki Roh Kudus. Ada beberapa alasan tata bahasa yang memungkinkan untuk menerjemahkan 1 Yoh. 3:1-10 sebagai merujuk pada mereka yang terus-menerus hidup dalam gaya hidup berdosa, dan alasan kontekstual (mis. 1 Yoh. 1:7-2:2; 5:16) untuk lebih menyukai terjemahan ini. Apapun kondisinya, bagian ini mengajarkan perbedaan antara orang percaya yang yang tidak percaya, bukan antara tubuh dan roh orang percaya.

  4. Perihal poin keempat argumentasi ini (hukum dosa dalam tubuh kita melawan hukum kebenaran dalam roh kita): Teks ini tidak menyebutkan sebuah “hukum kebenaran,” sekalipun ada menyebutkan sebuah “hukum Allah.” Di sini masalahnya sepertinya terletak pada kesimpulan teologis si penulis dan kosa kata yang membingungkan, dan bukan pemahamannya atas teks Roma 7:14-8:1. “Hukum Allah” di sini adalah hukum yang sesuai dengan standar Allah dan berasal dari Allah – hal ini tidak sama dengan “hukum kebenaran” di Roma 9-10 (bacalah poin 1 di atas). Namun demikianpun, saya yakin bahwa si penulis argumentasi ini telah cukup memahami posisi Paulus di Roma 7:14-8:1 (namun tidak di Roma 9-10). Menurut saya Paulus sebenarnya mengatakan bahwa sebagai orang percaya, roh kita diregenerasikan dan didiami oleh Roh Kudus. Akibatnya, di dalam roh, kita ingin berlaku benar. Pada saat yang bersamaan, dosa masih mendiami daging kita (yang mencakup namun tidak terbatas pada tubuh jasmani kita), dan dosa menikmati berbuat dosa dan membenci berbuat kebenaran. Dosa dalam tubuh/daging kita berperang dengan roh kita dalam upaya untuk membuat kita berdosa, sementara Roh Kudus mengilhami roh kita untuk bergumul berbuat kebenaran (bandingkan Rom. 8:10; Gal. 5:17). Alasan Paulus mengidentifikasi dirinya dengan rohnya ketimbang dengan daging/ tubuhnya adalah bahwa identitasnya yang baru dalam Kristus sama dengan identitasnya dalam rohnya. Roh Paulus mewakili buah sulung yang sedang dia alami dalam proses pembentukan untuk menjadi seperti demikian (Rom. 8:23).

  Masalah dengan argumentasi yang sedang dipertanyakan adalah Roma 7:14-8:1 sedikitpun tidak mendukung ide bahwa tubuh jasmani kita tidak akan diselamatkan. Sesungguhnya, sekalipun bagian tersebut menunjukkan bahwa mereka belum diselamatkan pada saat ini, bagian itu juga menunjukkan pengharapan bahwasanya mereka akan diselamatkan. Secara khusus, Paulus berteriak, “Siapakah yang akan menyelamatkanku dari tubuh maut ini?” (Rom. 7:24). Lantas dia menanggapi dengan ucapan syukur kepada Allah (Rom. 7:25), mengindikasikan bahwa Allah sungguh akan menyelamatkannya dari dilema ini. Agar kita tidak berpikir bahwa keselamatan dari “tubuh celaka ini” berarti perpisahan dengan tubuh kita, Paulus melanjutkan untuk menunjukkan di pasal selanjutnya bahwa Allah pasti pada puncaknya akan menyelesaikan keselamatan ini dengan memperbaharui tubuh kita dan membangkitkan mereka dari kematian (Rom. 8:11,23). Tubuh kita memang belum ditebus, namun mereka pasti akan ditebus.

Sebagai kesimpulan, ada beberapa hal baik dalam argumentasi ini, namun terdapat juga beberapa hal yang sangat buruk. Argumentasi bahwa kita tidak akan masuk api pencucian karena kita tidak akan memiliki tubuh jasmani adalah sebuah argumentasi yang sangat salah karena dalam penyangkalan bahwa tubuh kita akan diselamatkan, argumentasi ini pada dasarnya menyangkal injil. Sekalipun saya menolak doktrin api pencucian karena tidak alkitabiah, saya juga harus menentang argumentasi ini yang melawan api pencucian karena sama halnya juga tidak alkitabiah.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A