Saya penasaran atas argumentasi yang menyebutkan bahwa Adam dan Hawa memiliki otoritas yang tidak sebanding. Sementara di Kejadian 1:28 jelas Allah memberikan kepada keduanya laki-laki dan perempuan mandat untuk memenuhi, menaklukkan, dan memerintah. Sepertinya kesaksian Alkitab menyampaikan bahwa Allah mengangkat kepemimpinan bukan berdasarkan standar dunia atas urutan (ordo), seperti sebagai anak sulung (mis. Yakub, Yusuf), atau bahkan gender (mis. Debora), namun berdasarkan kehendakNya yang berdaulat. Mungkinkah alasan mengapa Hawa tidak dapat menolong memberi nama semua hewan karena memang dia belum diciptakan? Saya tahu Adam juga diberikan otoritas untuk menamai Hawa, namun mengapa otoritas dalam situasi tertentu itu malah digeneralisasi?
Ya, dalam Kejadian 1:28 keseluruhan umat manusia menerima mandat untuk memenuhi, menaklukkan dan memerintah, yang artinya bahwa keseluruhan umat manusia punya otoritas atas bumi. Namun tentu saja, kita tidak lantas mengartikan dari hal ini, misalnya, bahwa berarti anak-anak punya otoritas sama setara dengan orangtua mereka. Sangat penting bahwa kepada keduanya Adam dan Hawa diberikan otoritas ini, dan saya jelas tidak bermaksud meremehkan betapa pentingnya hal tersebut. Namun pada saat yang sama, kita tidak boleh menyimpulkan hanya dari satu fakta ini belaka bahwa pria dan wanita memiliki otoritas yang sama dalam semua bidang. Kejadian 1:28 berbicara tentang otoritas yang mereka miliki atas ciptaan, namun bukanlah otoritas yang mereka miliki dalam hal relasi satu dengan yang lainnya. Otoritas tersebut dijabarkan dalam Kejadian 2.
Alkitab menyediakan banyak contoh bagi kita atas orang-orang yang dipersiapkan untuk jabatan otoritas. Dan ya, terkadang memang kita menemukan orang-orang yang tidak disangka menerima otoritas tersebut, seperti Yakub, Yusuf dan Debora. Namun hal ini adalah pengecualian dari pola yang biasanya disingkapkan dalam Alkitab. Kebanyakan mereka yang dipersiapkan untuk jabatan otoritas adalah pria, dan biasanya anak sulung. Terlebih lagi, hukum Taurat memberikan takaran berkat dan kehormatan lebih kepada anak sulung laki-laki (Kel. 13; Bil. 27; Ul. 21:17), dan otoritas yang lebih biasanya mengikuti berkat yang lebih besar ini (mis. kepemimpinan keluarga/suku). Kenyataan ini seharusnya menggiring kita untuk mengharapkan pola pada umumnya haruslah kepemimpinan pria, namun juga memahami bahwa hal ini bukanlah sebuah peraturan yang kaku (bdg. Bil. 27:8).
Tentang hal pemberian nama hewan, mungkin saja Hawa tidak ikut serta dalam penamaan ini karena memang dia belum diciptakan. Namun, kita harus bertanya lebih jauh: Mengapa Allah tidak menciptakan Hawa sebelumnya supaya dia juga dapat ikut serta dalam penamaan? Satu implikasi dari sejarah mungkin saja karena otoritas Adam lebih besar sehingga tidak perlu untuk melibatkan Hawa. Alkitab tidak mengungkapkan hal ini secara eksplisit, tapi sepertinya implikasi inilah yang muncul.
Biasanya, penamaan hewan dipahami sebagai cara yang dipakai Allah untuk menunjukkan kepada Adam bahwa Adam tidak sanggup untuk memenuhi perintah pengutusannya untuk beranak-cucu dan memerintah jika tanpa bantuan. Semua hewan disodorkan kepadanya sampai dia menyadari tidak satu pun di antara mereka yang dapat membantunya melakukan tugasnya. Oleh sebab itu, Allah kemudian menciptakan Hawa sebagai rekan yang melengkapi untuk membantu Adam beranak-cucu dan memerintah. Saya rasa ini adalah rangkuman yang tepat atas apa yang kita temukan di Kejadian 2. Namun satu implikasi atas hal ini adalah mandat Kejadian 1:28 pada awalnya diberikan hanya kepada Adam, sementara Hawa diikutsertakan kemudian untuk membantu Adam. Tentu hal ini bukan berarti Hawa tidak menerima mandat tersebut, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa Adam memikul tanggung-jawab utama dan Hawa memikul tanggung-jawab turunan oleh karena relasinya dengan Adam.
Dan tentu saja, fakta berikutnya adalah Adam yang menamai Hawa, yang menunjukkan otoritas Adam atas Hawa sebagaimana demikian juga dia yang menamai semua hewan. Hal ini bukan berarti bahwa otoritas Hawa tidak lebih besar dari otoritas hewan, namun hal ini jelas mengimplikasikan bahwa otoritas Adam lebih besar dari otoritas Hawa. Juga merupakan hal yang penting bahwa Adam menamai Hawa dua kali, sekali sebelum Kejatuhan (Kej. 2:23) dan sekali setelah itu (Kej. 3:20). Hal ini mengindikasikan bahwa otoritas Adam atas Hawa berakar pada ciptaan, dan tidak dimusnahkan oleh Kejatuhan.
Alasan untuk otoritas Adam atas Hawa dalam situasi tertentu tadi menjadi tergeneralisir adalah karena ciptaan sebelum manusia jatuh dalam dosa memang sudah sempurna. Hal ini mewakili standar ideal Allah bagi ciptaan. Ini bukan baru tahap draf kasar; namun ciptaan sejak awal sudah menjadi puncak dari ekspresi kreativitas Allah, yang mewakili kehendakNya yang sempurna. Inilah ide di balik seluruh ordo dan mandat ciptaan. Sederhananya, Alkitab mendorong kita untuk memahami model sebelum kejatuhan dalam cakupan yang luas, dan bukan sempit, sekaligus menemukan banyak cara untuk hidup kita dapat bertumbuh semakin menyerupai kesempurnaan dibanding mengaplikasikan prinsip-prinsip ini hanya ke dalam konteks situasi yang sempit (bdg. strategi yang diterapkan Westminster Larger Cathecism dalam menerapkan 10 Perintah Allah).
Misalnya, Allah memerintahkan istirahat di hari Sabat seminggu sekali yang didasarkan pada pole ciptaan (Kel. 20:11), dan Paulus mempertahankan penatua pria dengan didasarkan pada ciptaan (1 Tim. 2:12-15). Demikian juga Paulus mengajarkan bahwa atribut Allah nyata bagi seluruh umat manusia lewat ciptaan (Rom. 1:20). Semuanya ini adalah pengaplikasian secara luas dan bukannya sempit terhadap model ciptaan.
Oleh karena hal ini, kita harus melihat kepada pola ciptaan yang memberikan kita model-model dasar untuk ditiru dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika Adam memiliki otoritas atas Hawa dalam tatanan Allah yang sempurna, berarti kita seharusnya mengasumsikan bahwa setiap orang yang seperti Adam (mis. seorang suami) memiliki otoritas atas setiap orang yang seperti Hawa (mis. istri dari suami dimaksud). Otoritas ini terbatas dan memiliki elemen saling kebergantungan. Namun tetap konsep dasar bahwa seorang suami berada pada posisi yang lebih tinggi dari istrinya dalam jenjang otoritas memang memiliki pijakan yang cukup kokoh ketika kita mengamati Adam dan Hawa. Terlebih lagi, Paulus sepertinya telah menegaskan pemikiran seperti ini dalam 1 Timotius 3:4-5 ketika dia melanjutkan pembicaraannya tentang Adam dan Hawa dengan argumentasinya bahwa seorang pria seharusnya menjadi pemimpin/pengelola rumah tangganya. Singkatnya, pola ini bukan didasarkan pada nilai-nilai duniawi, namun sesungguhnya justru nilai-nilai ilahi.
Nah, sekalipun saya seorang penganut complementarian (otoritas pria lebih dari wanita untuk saling melengkapi), saya sama sekali tidak setuju dengan segala sesuatu yang sudah dianggap sebagai “complementarian” saat ini. Saya rasa banyak kaum complementarians yang mengecilkan otoritas istri terhadap suami mereka, demikian pula halnya dengan peran wanita di gereja. Namun saya setuju, dalam isitilah yang jelas “hitam-putih,” bahwa seorang suami memiliki otoritas lebih besar daripada istrinya, dan bahwa kaum perempuan tidak seharusnya ditahbiskan untuk memegang jabatan penatua. Saya rasa poin-poin ini memiliki pijakan yang kokok di dalam kejadian penciptaan.
Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.