Dapatkah Saya Bercerai dan Menikah Lagi?

Pertanyaan

Pernikahan saya tidak berbahagia dengan beberapa anak masih kecil. Suami saya berasal dari latar belakang penuh kekerasan, dan sekalipun día tidak secara fisik bersikap kasar terhadap saya atau anak-anak kami, día sangat mengontrol dan tidak mungkin dapat disenangkan. Día telah melukai saya secara emosional dengan sangat dalam, dan selama ini saya tetap bungkam untuk melindungi reputasinya. Akhirnya, saya beritahukan dia saya tidak sanggup lagi dan akan menceraikan día. Saya memang tidak secara resmi mengajukan perceraian, namun telah berencana melakukannya.

Tidak lama setelah kejadian ini, saya jatuh cinta dengan pria lain dan selingkuh dengannya. Pria ini mencintai saya dan mau menikahi saya, walaupun saya telah menghentikan hubungan seksual dengannya karena saya sadar hal itu adalah dosa. Karena merasa bersalah dan mengurungkan niat untuk bercerai, saya memohon kepada suami untuk mencari pertolongan dan konseling. Día tolak mentah-mentah, mengatakan semuanya baik-baik saja, bahkan menyarankan saya konseling sendiri. Hal ini membuat saya kembali berkomitmen untuk menikahi pria lain tersebut.

Namun sekarang justru suami saya mengatakan dia telah berubah pikiran dan mau menyelamatkan pernikahan kami. Saya masih tinggal bersama suami saya, namun sama sekali sudah tidak lagi memiliki perasaan sebagai istri bagi dia. Sebaliknya, saat ini saya sangat mencintai pria lain tersebut. Apa yang harus saya lakukan?

Jawaban

Pertanyaan anda sangat menyakitkan dan sulit sehingga saya menerimanya dengan berat hati. Saya merasa sangat sedih untuk anda, suami anda, dan terutama anak-anak kalian. Saya sarankan agar anda dapat mencari nasihat dari yang lainnya juga – mereka yang mengenal anda dan suami, termasuk detil dari kondisi kalian.

Saya akan memfokuskan jawaban saya dari sisi isu teologis terkait. Anda tidak menyebutkan apakah suami anda seorang percaya atau tidak. Sementara ini saya akan berasumsi dia orang percaya. Jadi pertama saya akan paparkan data alkitabiah, baru kemudian mencoba untuk memahaminya satu per satu.

Sebelum Perceraian

Untuk mengawali, konsep ideal Allah bagi manusia adalah pernikahan yang berbahagia (Kej. 2:18), bukan pernikahan yang tidak berbahagia dan bukan pula perceraian. Allah tidak ingin manusia ada dalam pernikahan yang tidak berbahagia. Pada saat yang bersamaan, Allah membenci perceraian (Mal. 2:16). Dia membenci perceraian berdasarkan paling sedikit dua alasan: hal ini adalah bentuk pengkhiatan dalam berhubungan dengan orang lain (Mal. 2:14-16) dan juga merupakan pelanggaran atau perusakan dari sumpah pernikahan. Allah mengganggap serius baik pengkhiatan maupun sumpah (Bil. 30). Namun demikianpun, bahkan Allah sendiri bersedia untuk menceraikan ketika dosa istrinya sudah cukup besar (Yes. 50:1; Yer. 3:8). Berarti di satu sisi, perceraian pada umumnya harus dihindari dan selalu melibatkan suatu bentuk dosa (baik dari yang mencetus perceraian, atau dari yang mencari perceraian, atau keduanya). Di sisi lainnya, terkadang perceraian beralasan sehingga tidak selalu berdosa untuk melakukan perceraian. Kedua, adalah dosa untuk mencintai hal yang berdosa. Misalnya, Yesus mengajarkan bahwasanya berahi terhadap perzinahan melanggar hukum yang sama dengan melakukan perzinahan (Mat. 5:28). Jika hal ini diterapkan dalam situasi anda, memang bukan perbuatan terpuji jika anda mencintai pria lain tersebut, dan hal ini bukanlah sesuatu yang polos. Memang menginginkan untuk menikahi día dan tidur dengannya tidaklah separah melakukan perzinahan secara fisik, tapi tetap ini adalah dosa. Hatimu seharusnya milik suamimu.

Pertimbangkan misalnya, bagaimana di Alkitab Allah biasanya menyamakan penyembahan berhala dengan perzinahan. Ketika umatNya menyembah ilah-ilah lain, Tuhan menuduh mereka berzinah (Yer. 3:6ff.; Yeh. 23:1ff.). Dan gereja adalah mempelai Kristus (Ef. 5:25-27). Tidaklah sah jika kita hanya sekadar tidak menyembah ilah-ilah lain. Allah menuntut kita mengasihi Dia dengan segenap hati kita (Mat. 22:36-38). Ketika kita tidak melakukannya, maka hati kita jelas tidak setia sekalipun mulut kita mengucapkan hal-hal yang benar (Mat. 15:8). Demikianpun, kita seharusnya komit terhadap pasangan kita dengan kasih yang sejati. Saat kita mengijinkan hati kita tidak setia, maka kita berdosa. Sampai pada suatu masa dimana anda secara sah bebas dari sumpah anda kepaa suamimu, maka anda tidak dapat mencintai yang lain atau tidur dengan orang tersebut. Kedengarannya, kalian berdua bersalah dengan dosa besar: día karena tidak mengasihi anda (Ams. 30:23; Ef. 5:25-33; Kol. 3:19), dan anda karena berzinah (Kel. 20:14) dan tidak mengasihi dia (Tit. 2:4). Secara teologis, langkah pertama bagi anda berdua adalah bertobat atas dosa-dosamu (ketidaksetiaan, tidak mengasihi, membenci, berdusta, dll.) Hal ini harus dikerjakan sekarang, terlepas apa tindakan anda terdapat perceraian, dan terlepas apakah memang perceraian diperbolehkan atau tidak.

Perceraian yang Diperbolehkan

Ulangan 24:1-4

Dalam pemahaman saya atas Alkitab, perceraian diperbolehkan hanya dalam kondisi-kondisi pengecualian. Misalnya, sementara banyak yang merujuk pada Ulangan 24:1-4 pada jamannya Yesus sebagai bukti bahwa perceraian pada umumnya dapat diterima, Yesus sendiri menolak ide ini (Mat. 19:1ff.). Yesus menunjukkan bahwa alih-alih mengijinkan perceraian, perikop ini hanyalah untuk mengatur tentang perceraian. Allah tahu bahwa perceraian/dosa tidak terelakkan, sehingga Dia memberikan hukum yang mengatur hal tersebut agar dapat melindungi para korban. Yesus membuktikan bahwa Ulangan 24:1-4 adalah peraturan dan bukan ijin saat Dia mengatakan bahwa Musa memberikan hukum ini oleh karena ketegaran hati bangsa Israel (Markus 10:4-5).

Kelihatannya Musa memberikan hukum tentang surat cerai sebagai perlindungan bagi perempuan yang telah diceraikan (Ul. 24:1-4). Surat ini mensahkan hak legal mereka untuk menikah kembali. Tanpa surat seperti ini, mereka tidak dapat diterima sebagai perempuan yang telah sah bercerai, yang mengakibatkan mustahil bagi mereka untuk menikah kembali. Mengapa hal ini menjadikan mustahil bagi mereka untuk menikah kembali? Karena menikahi seorang perempuan yang belum bercerai adalah sama dengan melakukan perzinahan (bdg. Interpretasi/aplikasi Yesus terhadap Perjanjian Lama berikut ini.

Matius 19:1ff. & Imamat 20:10

Pengajaran Yesus tentang hal ini menurut saya sangat penting:

Jesus' teachings on this matter are critical in my mind: “siapa yang menceraikan istrinya, kecuali karena zina, lalu menikah dengan perempuan lain, ia berzina” (Mat. 19:9). Sejak awal saya harus sampaikan empat hal dulu:

Pertama, pengajaran Yesus mengasumsikan bahwa Kejadian 2 menetapkan pola bagi pernikahan:

Jesus' teaching assumes that Genesis 2 establishes the pattern for marriage: “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6; cf. 19:4-5). Hal ini berarti kita harus senantiasa mengingat dan menjaga konsep ideal pernikahan yang stabil.

Kedua, kaum akademisi belum sepakat tentang makna “ketidaksetiaan dalam pernikahan.” Tentu perzinahan termasuk di dalamnya; namun apakah dosa lain yang masuk dalam kriteria ini masih jadi bahan perdebatan. Menurut saya, kategorinya sebenarnya sempit. Nanti akan saya jelaskan lebih lanjut.

Ketiga, Yesus kelihatannya tidak bermaksud bahwa perceraian itu sendiri adalah tindakan perzinahan. Seseorang yang bercerai dan tidak menikah lagi belum melakukan dosa yang biasanya diklasifikasikan Alkitab sebagai perzinahan. Sebaliknya, sebuah pernikahan kembali setelah perceraian yang tidak alkitabiahlah yang sepertinya pantas menerima keputusan sebagai perzinahan.

Keempat, pengajaran Yesus tentang apa yang seorang laki-laki boleh dan tidak boleh lakukan berlaku sama persis dengan apa yang seorang perempuan boleh atau tidak boleh lakukan.

Dalam kejadian apapun, menurut Yesus, hanya ada satu jenis dosa yang memperbolehkan perceraian: “ketidak setiaan pernikahan,” yang kadang juga diterjemahkan sebagai “imoralitas.” Istilah ini adalah hasil terjemahan dari kata Yunani porneia. Beberapa komentator percaya bahwa istilah tersebut adalah hal pertama dari sebuah daftar yang tidak lengkap. Namun tidak ada daftar baik di Matius 19:9 (maupun di bagian paralel Matius 5:32) — di sana hanya ada satu hal. Tidak ada hal khusus lain dalam perikop ini yang menuntun kita untuk berpikir bahwa porneia hanyalah hal pertama yang merupakan bagian dari sebuah daftar yang tidak terspesifikasi secara jelas. Kalau benar demikian adanya, maka isi dari daftar yang seperti ini pasti sudah dikembangkan di bagian lain, untuk kemudian dimasukkan ke bagian ini. Paralel lainnya di Markus 10:11-12 dan Lukas 16:18 bahkan tidak menyebut porneia sebagai sebuah pengecualian atas hukum yang melarang perceraian. Menurut hemat saya, hal ini menjadikan posisi yang mengganggap ada pengecualian lain bagi porneia menjadi posisi yang lemah dan sulit dipertahankan secara alkitabiah.

Kalau begitu, sebenarnya porneia itu apa? Pertama, cara utama untuk dibebaskan dari perjanjian pernikahan adalah dengan kematian salah satu pasangan (bdg. Rom. 7:1-4). Di Perjanjian Lama, perzinahan dapat menerima hukuman maksimal kematian (Im. 20:10; hal-hal legal biasanya berkaitan dengan penalti maksimum, bukan keharusan, kecuali dispesifikasi sebaliknya), yang akan memberikan kebebasan dari pihak yang tinggal untuk dapat menikah kembali. Implikasinya, penalti yang lebih ringan (seperti perceraian) juga diperbolehkan yang akan menghasilkan kebebasan bagi pihak yang tinggal untuk dapat menikah kembali.

Yesus mengijinkan perceraian sebagai jalan alternatif yang sah daripada menuntut kematian sang pasangan (Mat. 19:9). Yusuf juga menunjukkan bahwa hal ini adalah sebuah penerapan sah atas Imamat 20:10 ketika Alkitab menyebut dia “orang benar” karena niatnya menceraikan Maria dengan diam-diam dan bukannya mempermalukan dia atau menuntut dia dihukum mati (Mat. 1:18-19). Kelihatannya hukum mengenai hal ini kira-kira seperti ini “pelanggaran [terhadap pasangan] yang memperbolehkan kematian juga memperbolehkan perceraian.” Dengan kata lain, jika anda telah berdosa sedemikian besar sampai pasangannya dapat dibebaskan lewat menuntut kematian anda secara legal, maka pasangan anda juga dapat dibebaskan dengan cara menceraikan anda. Jelas perceraian adalah penerapan atas Imamat 20:10 yang jauh lebih berbelas kasihan dalam kebanyakan perkara.

Menurut sebagian besar kaum akademisi, kedua kata Ibrani untuk perzinahan dalam Imamat 20:10 (na'aph) dan porneia memiliki rentang makna yang mirip, dimana keduanya mencakup rentang dosa-dosa seksual yang menjijikkan. Konteks Imamat 20:10 kelihatannya paling menunjuk kepada perzinahan, namun dosa-dosa seksual lainnya juga memperbolehkan kematian dan dapat dengan mudah masuk dalam kategori ini (mis. hubungan seks dengan hewan, persetubuhan dengan saudara kandung; bdg. Im. 20).

Apalagi, Yesus tidak menetapkan hukum-hukum baru atau menghapus yang lama (Mat. 5:17-20). Kenyataan ini menuntun saya untuk percaya bahwa Matius 19:9 adalah sebuah penerapan Perjanjian Lama. Sepertinya bagi saya Imamat 20:10 adalah kandidat utama bagi hukum-hukum yang Yesus sedang terapkan. Sehingga hal ini menuntun saya untuk berkesimpulan bahwa porneia di Matius 19:9 merujuk kepada perzinahan dan dosa-dosa seksual lain yang menjijikkan yang di dalam Perjanjian Lama pantas dihukum mati. Sekalipun kita mungkin saja berdalih terhadap perbedaan derajat dalam makna dari kedua kata yang dipakai, poin dasarnya sepertinya mengacu kepada dosa seksual menjijikkan atau ketidaksetiaan terhadap pasangan, yang memperbolehkan perceraian.

Jadi dalam penilaian saya, perjanjian pernikahan di antara orang percaya bisa diputuskan secara sah oleh kematian atau oleh perceraian yang alkitabiah. Perceraian hanya alkitabiah jika memang alasannya pantas untuk menerima kematian di Perjanjian Lama. Mungkin ini terdengar seperti sebuah pandangan yang ekstrim dalam konteks jaman sekarang, namun saya rasa ini alkitabiah dan saya akan coba menjelaskan dengan lebih utuh.

1 Korintus 7:10-17

Ada juga dasar alkitabiah untuk perceraian dalam kasus dimana seorang tidak percaya meninggalkan seorang percaya (1 Cor. 7:15), namun bukan saat seorang percaya meninggalkan seorang tidak percaya. Saya sudah menuliskan lebih banyak tentang pengecualian ini di bagian lain.

Banyak gereja juga mengijinkan perceraian dalam kejadian pengabaian, dan beberapa mengganggap hal seperti kekerasan juga termasuk sebuah bagian dari pengabaian. Hal ini bisa saja diperbolehkan atau tidak, tergantung detil yang terlibat. Dalam kejadian apapun, saya tidak percaya bahwa kekerasan emosional memberikan dasar untuk perceraian baik dalam Perjanjian Lama ataupun Baru.

Dalam kasus pengabaian seorang percaya yang memang benar dilakukan oleh seorang tidak percaya, saya rasa kita sedang berhadapan dengan apa yang Alkitab anggap sebagai perceraian de facto (secara fakta). Ini adalah sebuah jenis situasi yang cukup beralasan untuk Musa mengeluarkan instruksi tentang surat cerai di Ulangan 24:1-4, yang saya rasa mungkin menjadi dasar bagi Paulus untuk mengijinkan menikah kembali dalam keadaan seperti ini (1 Kor. 7:15). Orang yang tidak percaya seharusnya tidak meninggalkan, dan orang percaya tidak boleh mengusir orang yang tidak percaya. Namun jika dosa seperti ini dilakukan oleh orang tidak percaya, maka orang percaya terlindungi, dengan cara menerima surat cerai secara de facto dari yang tidak percaya.

Setelah Pernikahan

Setelah perceraian dengan memperoleh ijin alkitabiah, maka kedua pihak dapat menikah kembali. Saya tidak melihat Alkitab melarang pernikahan kembali dari pihak yang bersalah yang mencetus perceraian. Bahkan Alkitab sepertinya mengatakan bahwa pasangan yang menikah berada dalam perjanjian dan bahwasanya perjanjian ini hanya dapat diputus dalam kasus-kasus tertentu. Begitu perjanjian tersebut diputuskan, maka kedua belah pihak bebas. Tidak mungkin seorang suami/istri memiliki kewajiban dalam ikatan perjanjian kepada pasangannya tanpa pasangan tersebut juga memiliki kewajiban perjanjian. Pilihannya hanyalah berada dalam ikatan perjanjian atau tidak; tidak ada jalan tengah dimana hanya ada satu orang yang terikat dalam perjanjian.

Namun, banyak perceraian yang sesungguhnya tidak memiliki alasan alkitabiah. Dalam kasus-kasus demikian, pihak yang bercerai tidak dapat menikah kembali karena perjanjian di antara mereka belum diputus. Mereka masih saling bertanggung-jawab atas pasangan mereka, dan hanya dianggap berpisah (1 Kor. 7:11).

Dalam banyak kasus, berpisah bukanlah sebuah opsi yang tidak berdosa, sekalipun Paulus mengakui bahwa hal ini kadang kala akan terjadi. Sesuai skenario yang dibeberkan Paulus, sepertinya ini terjadi dalam kasus dimana sebuah pasangan sebenarnya secara esensi sudah bercerai tanpa dasar alkitabiah. Karena mereka kekurangan dasar alkitabiah, sesungguhnya mereka tidak bercerai. Oleh karenanya, satu-satunya opsi mereka adalah berpisah selamanya (lajang semu) atau saling berekonsiliasi. Jaman ini hal tersebut dapat terjadi baik lewat berpisah selamanya, atau dengan perceraian yang sah secara hukum namun tanpa persetujuan alkitabiah.

Terlebih lagi, karena perzinahan memperbolehkan perceraian, dan karena pernikahan kembali yang tidak sah adalah perzinahan, jika salah satu pihak menikah kembali setelah sebuah perceraian yang tidak diperbolehkan, pihak yang lain dapat membebaskan orang tersebut dari ikatan perjanjian dengan memutusnya atas dasar perzinahan. Jelas ini bukan sebuah opsi tanpa dosa karena memang diakibatkan pernikahan kembali yang sama dengan perzinahan.

Bagian yang Sulit

Kini kita tiba di bagian dimana saya akan mencoba untuk menolong anda memahami bagaiamana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan di dalam situasi anda sendiri. Sebagaimanan yang sudah sampai sampaikan sebelumnya, langkah pertama haruslah pertobatan, atas kedua-duanya, bagian anda dan bagian suami anda.

Jika suami anda bersedia untuk membereskan persoalan ini bersama dengan anda, saya rasa anda memiliki kewajiban alkitabiah untuk mencoba. Alkitab memerintahkan suami untuk mengasihi istri (Ef. 5:25) dan istri diperintahkan untuk mengasihi suami (Tit. 2:4). Anda adlalah istrinya, berarti anda berkewajiban untuk mengasihi dia. Saya tahu hal ini terlihat seperti sebuah perintah yang mustahil, tapi inilah yang diajarkan oleh Firman. Semoga, hal ini tidak lebih sulit dibandingkan untuk mengasihi musuh-musuh kita, yang juga kita diperintahkan untuk melakukan (Mat. 5:44).

Praktisnya, sekalipun terasa mustahil untuk mengasihi suami anda, kenyataannya ada pasangan lain yang sudah kembali saling jatuh cinta (saya mengenal beberapa di antara mereka secara pribadi). Jika mereka telah melakukannya, anda juga mampu. Yang jelas, karena mengasihi suami anda memang adalah hal yang diperlukan secara alkitabiah, maka hal itu juga adalah sesuatu yang dapat anda lakukan dengan pertolongan Roh Kudus (1 Kor. 10:13; Gal. 5:22).

Juga secara praktis, membereskan persoalan ini bersama suami anda akan jauh lebih baik bagi anak-anak anda. Dan sekalipun anda mungkin tidak menghargai perspektif suami anda pada saat ini, sebagai seorang ayah, saya sangat menduga kalau kondisi harus hidup tidak di bawah satu atap dengan anak-anaknya in akan meluluh-lantakkan día.

Pertanyaan besar dalam upaya mencoba membereskan persoalan ini bersama suami anda adalah apakah anda akan ceritakan kepadanya tentang perselingkuhanmu atau tidak. Jika anda ceritakan, mungkin día akan ingin menceraikan anda dengan persetujan alkitabiah. Tentu saja di titik ini, mungkin hal inilah yang anda inginkan juga. Jika memang anda putuskan untuk menceritakan kepada suamimu, pastikan motivasi anda murni. Jika anda hanya ceritakan semata-mata karena berharap dia akan menceraikan anda, dan anda tidak memohon pengampunan atas ketidak-setiaan anda terhadap día, maka sekalipun akhirnya anda akan mendapatkan perceraian yang anda inginkan, sesungguhnya anda sedang terus menumpukkan dosa anda sendiri di sepanjang proses ini.

Tentang kekasih anda saat ini, anda tidak dapat lagi mencintai dia, apakah secara fisik atau di dalam hati. Sekali lagi, mungkin saja ini terdengar mustahil, namun sebagaimana dengan semua hal yang Allah perintahkan, Roh Kudus dapat memberdayakan dan memampukan kita untuk menuruti. Jika akhirnya anda nanti bercerai dan belum berhenti mencintai kekasih anda, dugaan saya anda akan menikahi dia. Ya, anda akan punya dasar-dasar alkitabiah untuk melakukan hal ini jika suami anda menceraikan anda oleh karena perzinahanmu. Namun anda tidak akan dapat melakukannya tanpa berbuat dosa karena anda tetap harus bertobat dari mencintai kekasih anda sampai anda sudah bercerai.

Pada umumnya, orang mengganggap lebih mudah untuk menerima pengampunan daripada menghindari dosa, sehingga mereka kerjakan saja apa yang mereka inginkan dan lantas bergantung pada pengampunan. Namun penting untuk mengingat bahwa ini bukan cara yang diusung oleh Alkitab, dan sesungguhnya pengampunan sejati membutuhkan pertobatan sejati. Alkitab mengajarkan kita bahwa kita harus mengasihi Allah, dan jika benar kita mengasihi Dia maka kita akan menaatiNya. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya, persoalan yang terbentang di hadapan anda adalah apakah anda akan mengorbankan keinginan anda saat ini untuk dapat menghidupi kasih anda terhadap Allah, atau mengorbankan ketaatan terhadap Allah demi memenuhi keinginan saat ini.

Dan tentu saja, pilihan anda akan berdampak dalam kekekalan. Kaum percaya menimbun harta di surga ketika mereka taat (Mat. 6:18-21), dan tidak menimbun harta saat mereka tidak taat. Untuk alasan inilah Paulus dan banyak yang lain di Alkitab yang rela untuk menjalani hidup yang sengsara (1 Kor. 9:14ff.; 15:19). Saya bukan sedang menyarankan anda untuk terkungkung dalam kesengsaraan – justru jauh dari hal itu. Yang saya katakan adalah anda harus memberikan kesempatan kepada Roh Kudus untuk mengubah pernikahan anda menjadi sebuah pernikahan yang berbahagia, dan jika ada kesengsaraan yang timbul di dalam perjalanan, anda akan menerima upah karena telah bertahan.

Saya juga akan menambahkan bahwa Allah lebih cenderung untuk memberkati anak-anakNya ketika mereka menaati Dia ketimbang ketika mereka tidak menaati Dia (Maz. 1). Jika anda sungguh-sungguh ingin berbahagia dalam kehidupan, taruhan terbaik adalah dengan mengikuti perintah-perintah Allah tentang bagaimana hidup yang berbahagia. Mencari kebahagiaan dalam pernikahan yang berbeda mungkin sekilas terlihat sebagai sebuah keingan yang polos, namun hal itu bukan yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, mengikuti nasihat dunia hanya akan membuat anda senang sesaat (Ibr. 11:25), tapi tidak akan memuaskan anda dalam jangka panjang.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A