Pasangan yang Tidak Seimbang

Pertanyaan

Saya seorang ateis. Saya bertemu dengan seorang gadis Kristen yang sangat menawan hati saya, dan saya tahu dia juga merasakan hal yang sama terhadap saya. Namun, kami tidak dapat melanjutkan hubungan ini karena dia tidak diijinkan untuk menjalin hubungan dengan seorang yang tidak percaya. Apa tanggapan Alkitab tentang relasi seperti ini? Apakah ada cara agar hal ini dapat diterima oleh gereja?

Jawaban

Alkitab mengajarkan dengan berbagai cara bahwa orang percaya tidak boleh menikah dengan yang tidak percaya. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel dilarang mengawini mereka yang bukan Israel dan tidak menganut agama Israel (mis. Ezra 10:10ff.). Dalam Perjanjian Baru, Paulus mengajarkan orang percaya agar jangan menjadi “pasangan yang tidak seimbang” dengan orang yang tak percaya (2 Kor. 6:14ff.). Perikop dalam 2 Korintus ini secara umum dipahami oleh kaum Kristen konservatif sebagai larangan pernikahan antara yang percaya dan yang tidak percaya.

Dalam kedua Perjanjian Lama dan Baru, alasan pelarangan kesatuan seperti ini sebagian besar adalah untuk melindungi dan memelihara iman kaum percaya. Perintah tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai pasangan yang tidak percaya memengaruhi pasangan yang percaya yang dapat mengkrompromikan hubungannya dengan Allah (contohnya, apa yang dikerjakan oleh Salomo di 1 Raja-raja 11).

Alkitab juga berbicara atas situasi dimana seorang percaya menikah dengan seorang tidak percaya (mis. 1 Kor. 7:12-17; 1 Pet. 3:1-2). Situasi seperti ini kelihatannya mengasumsikan bahwa hal ini hasil dari pernikahan antara seorang percaya dengan yang tidak percaya, namun merupakan pertobatan dari hanya salah satu pasangan saat mereka sudah dalam keadaan menikah sebelumnya.

Gereja manapun seharusnya dan hampir pasti akan “menerima” pernikahan antara seorang percaya dan tidak percaya jika pernikahan tersebut memang telah terjadi. Misalnya, jika anda dan pacarmu hendak menikah, saya tidak bisa membayangkan ada gereja yang tidak akan mengakui pernikahan sebagai hal yang sah dan mengikat, atau akan menolak menerima istrimu di dalam persekutuan mereka. Namun tetap saja, gereja seperti ini juga terikat secara alkitabiah untuk meminta istrimu bertobat dari ketidak-taatannya (pertobatan tidak akan termasuk kewajiban meninggalkan anda).

Namun anda akan kesulitan menemukan hamba Tuhan konservatif yang bersedia untuk menikahkan kalian. Mengingat Alkitab melarang seorang percaya untuk menikah dengan seorang tidak percaya, hamba Tuhan konservatif tidak akan mengambil bagian dalam menikahkan kaum percaya dengan yang tidak percaya. Sebaliknya, banyak hamba Tuhan liberal yang tidak percaya kalau mereka harus tunduk pada apa yang ditegaskan oleh Alkitab, dan mungkin saja bersedia untuk menikahkan kalian. Atau bisa saja, pernikahan dapat dilaksanakan oleh lembaga sukarela yang tersedia, dll.

Saya mengerti bahwa dari perspektif seorang ateis anda mungkin tergoda untuk membujuk pacarmu agar tetap dapat menjalin hubungan, mungkin juga mencoba menemukan seseorang yang bersedia untuk menikahkan kalian, dan nantinya berharap gereja akan berbelas kasihan untuk menerima istri anda dalam persekutuan mereka. Sepertinya hal inilah yang saya coba kerjakan dalam situasi anda.

Namun bahkan dari perspektif seorang ateispun hal ini sebenarnya tidak disarankan. Saya sendiri adalah buah dari pernikahan “campuran” antara seorang percaya dan tidak percaya, dan saya tahu banyak orang lain seperti saya yang juga mengalami hal yang sama. Karena pandangan agama demikian fundamental dalam cara seseorang memandang segala hal dalam dunia ini, maka pandangan tersebut akan memengaruhi segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh orang tersebut. Pandangan agama memberi dampak bagi banyak area dalam kelakuan, moralitas, perspektif dalam politik, interaksi social, dan bahkan sains. Hal ini akan mengakibatkan perselisihan yang signifikan di antara pasangan yang tidak dapat setuju cara membesarkan anak-anak mereka. Misalnya, dalam situasi saya pribadi, sekalipun orangtua saya tidak secara terang-terangan mengungkapkan konflik di antara mereka tentang agama, saya dibesarkan dengan kesan bahwa ayah saya adalah seorang bodoh penolak Tuhan, dan ibu saya hanyalah seorang yang bodoh dengan pemikiran yang lemah. Tentu baik ibu maupun ayah saya tidak akan pernah menyampaikan hal ini secara blak-blakan kepada masing-masing, namun hal ini memang merupakan kesimpulan tak terelakkan yang muncul dari cara mereka memandang dunia. Pandangan masing-masing mereka akhirnya justru merusak keyakinan saya atas intelektualitas, keputusan dan moralitas mereka. Intinya, ditinjau dari ukuran apapun, ini bukanlah sebuah campuran yang baik.

Dan dari perspektif pacar anda, hal ini adalah dosa jika día menikahi anda (walaupun hal tersebut tidak akan membatalkan validitas pernikahan kalian). Berdasarkan situasi yang anda paparkan, dan mengasumsikan pacar anda seorang percaya (dan bukan sekadar “Kristen” karena tradisi), saya rasa bagi kalian hanya ada two opsi yang memungkinkan: 1) anda jangan meneruskan menjalin hubungan dengannya; atau 2) anda harus percaya Injil dan menjadi Kristen. Saya tahu alasan anda bertanya kepada saya bukan untuk saya membuat anda pindah kepercayaan, jadi jelas saya tidak akan memaksakan hal ini, tapi adalah sebuah kelalaian jika saya memberikan harapan kosong bahwa pacarmu dapat menikahi anda dengan berkat Tuhan, atau pernikahan seperti ini akan berlangsung mulus tanpa kesulitan berarti.

Jika anda tertarik, kami juga telah menyediakan artikel yang berbicara tentang hal ini secara lebih khusus: Mixed Marriages oleh John Frame.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A