Tanpa Kesalahan dan Kanonisasi

Pertanyaan

Selama ini saya bersaksi kepada seorang Mormon yang terus merujuk kepada sumber-sumber lain di luar Alkitab (Kitab Mormon, Mutiara yang Berharga, dll.) Tentu saya sudah mendiskusikan tentang masalah dari Kitab Mormon tersebut. Namun, saya ingin menanggapi soal ide dari Kitab Mormon atau apapun yang lain yang diklaim sebagai penyingkapan Allah bagi manusia.

Saya paham ada kontradiksi di antara Alkitab dan Kitab Mormon. Namun bagaimana kalau tidak ada? Dengan kata lain, bagaimana kita dapat tiba pada kesimpulan bahwa Kanon berakhir dengan Perjanjian Baru saat ini? Tentu ini yang saya percayai, namun selain bahwa Roh Kuduslah yang telah menyaksikan ini kepada saya, saya tidak punya jawaban lain yang meyakinkan. Bahkan, teman Mormon saya juga mengatakan hal yang sama tentang sumber-sumber lain di luar Alkitab yang dia pakai.

Dalam Pernyataan Chicago tentang Ineransi (tanpa kesalahan), tertulis bahwa:

Kelihatannya Kanon Perjanjian Lama telah diseleasikan pada jaman Yesus. Demikian juga dengan Kanon Perjanjian Baru saat ini telah ditutup, sepanjang tidak ada lagi kesaksian rasuli baru atas Kristus yang benar ada dalam sejarah yang dapat diberikan. Tidak ada penyingkapan baru (yang berbeda dari pemahaman yang diberikan Roh atas penyingkapan yang ada) yang akan diberikan sampai saat Kristus datang kembali. Kanon diciptakan dalam prinsip oleh inspirasi ilahi. Bagian Gereja adalah untuk membedakan Kanon yang diciptakan Allah, bukan untuk mengeluarkan kanon lain dari gereja sendiri.

Saya percaya akan hal ini, namun saya bertanya-tanya bagaimana mereka tiba pada kesimpulan tersebut.

Jawaban

Anda mengangkat beberapa isu penting. Kanonisasi adalah wilayah yang sangat sulit bagi kaum Protestan. Katolik Roma tentu saja berpegang pada posisi konsili gereja yang tanpa kesalahan untuk menegaskan Kanon, namun kita kaum Protestan mengakui tidak mungkin ada konsili yang tanpa kesalahan. Bahkan, perhatikan bahwa Pernyataan Chicago tidak mengatakan bahwa Kanon yang kita miliki sekarang adalah hasil dari pengoleksian oleh inspirasi ilahi. Sebaliknya, kanon “dalam prinsip” diinspirasi secara ilahi. Makna persis dari frasa ini tidak jelas, namun kelihatannya menyarankan bahwa proses kanonisasi tidaklah diawasi Allah seketat inspirasi awal dari autographa (naskah asali) setiap kitab dalam Alkitab. Hal ini berarti, Pernyataan Chicago kelihatannya mengindikasikan bahwa kanonisasi diinspirasikan hanya sebatas kenyataan bahwa semua kitab di dalamnya adalah diinspirasi.

Hal ini mengangkat beberapa isu penting yang harus kita akui:

1. Kita tidak memiliki semua literatur yang diinspirasi di dalam Kanon kita. Hal ini jelas terbukti dari surat kepada jemaat di Korintus yang “pertama” (cf. 1 Kor. 5:9) dan kitab-kitab lainnya yang dikutip dalam Raja-raja dan Tawarikh (mis. 2 Twr. 9:29). Semua kitab yang kita miliki adalah diinspirasi, namun kita tidak memiliki semua kitab yang diinspirasi.

2. Pembentukan Kanon adalah sebuah proses. Tidak ada palu turun dari surga yang memberitahukan kita kapan dan dimana untuk berhenti. Beberapa kitab Perjanjian Lama dipertanyakan (seperti Ester), dan beberapa kelompok Yahudi memiliki kitab-kitab lain dan materi tambahan (mis. kidung tambahan). Namun, Kanon Perjanjian Lama adalah sebagian besar, telah diselesaikan pada masanya Yesus dan Yesus pun mendukungnya (bdg. Mat. 5:17; Lukas 24:27). Jadi, Kanon Perjanjian Lama pada dasarnya stabil bagi gereja Kristen. Perjanjian Baru tidaklah sesederhana itu. Kanon tersebut ditutup dengan cara mirip dengan proses di Kisah Para Rasul 15. Kanon ini terbentuk dari sekumpulan kitab inti yang dikenal sebagai kitab rasuli atau erat kaitannya dengan para rasul (mis. memiliki persetujuan rasuli secara tersirat), terutama suratan Paulus, dan kitab Injil. Inilah yang kemudian dipakai secara standar doktrin untuk memutuskan kitab-kitab lain yang diajukan oleh kelompok gereja yang besar untuk dapat ditambahkan ke dalam Kanon. Beberapa kitab seperti Yudas dan Ibrani melewati proses perdebatan sengit, namun isu-isu doktrin tersebut akhirnya dapat terselesaikan sehingga merekapun diikutsertakan.

3. Begitu gereja mula-mula sepakat akan sebuah Kanon, kitab-kitab yang diajukan kemudian tidak pernah lagi ditambahkan, bukan karena artinya mereka tidak diinspirasikan, namun karena kontroversi tidak akan ada habisnya. Sehingga, Kanon menjadi tolak ukur atas kitab-kitab lainnya (mis. Apocrypha – tulisan yang diragukan pengarangnya), bahkan jika ada, seandainya, kitab yang diinspirasi lainnya. Hal ini menjadi cara gereja mengamankan kepercayaannya.

Jadi, bagaimana dengan kitab-kitab lain seperti Kitab Mormon yang mengklaim sebagai penyingkapan tambahan yang berotoritas? Berdasarkan penilaian saya pribadi atas masalah-masalah yang terlibat dalam proses pembentukan sebuah Kanon, saya telah tiba pada kesimpulan yang cukup berbeda dengan para pemikir sebelumnya. Secara pribadi saya percaya bahwa Kanon tidaklah seharusnya menjadi isu tentang dokumen yang “benar” namun dokumen yang “berotoritas.” Kebenaran di dalam arti kata kebenaran itu sendiri tidaklah berotoritas; Allahlah sumber otoritas.

Saya akan mengilustrasikan maksud saya dengan merujuk kepada wahyu umum. Wahyu umum adalah tanpa kesalahan dan benar, namun bukan berarti berotoritas. Sejak Kejatuhan, wahyu umum bukanlah standar yang sepenuhnya cukup untuk mengekang nurani kita karena ciptaan tidaklah secara cukup dapat diterjemahkan (menurut pendapat saya) untuk kemudian dapat dijadikan sebagai penuntun yang sepenuhnya pasti (mis. apakah kita akan meniru apa yang kita lihat oleh karena hal tersebut merefleksikan karakter Allah, atau kita seharusnya menghindari apa yang kita lihat karena hal tersebut adalah hasil dari Kejatuhan?). Ini bukanlah menyangkal bahwa wahyu umum dapat menuntun dan menolong, juga tidak untuk menyangkal bahwa dalam beberapa kasus Allah telah memastikan bahwa ada aspek wahyu umum yang memang berotoritas (Rom. 1:18-2:16). Namun, hal ini berarti bahwa wahyu umum tidaklah memiliki otoritas yang melekat dan permanen di dalam semua aspek.

Sebagai contoh lainnya, bayangkan saya menuliskan rumus ini di secarik kertas: 2 2 = 4. Rumus ini benar adanya, namun apakah hal itu berarti kita harus menyertakan secarik kertas tersebut ke dalam Kanon? Tentu saja tidak. Atau sekiranya saya mengatakan, “Sepertinya saya lapar,” dan mari kita bayangkan bahwa memang benar saya lapar. Apakah pernyataan tentang kelaparan saya ini lantas menjadi sesuatu yang mengikat secara universal atas nurani semua manusia sebagai sebuah otoritas yang atasnya mereka harus tunduk? Jelas tidak.

Bagi saya, isu fundamental di balik kanonisasi adalah otoritas. Setiap tulisan yang dipilih masuk ke dalam Kanon bukan hanya karena tulisan-tulisan tersebut benar, namun juga karena mereka membawa otoritas Allah yang telah didelegasikan. Dalam Perjanjian Lama, mereka yang didelegasikan untuk membawa otoritas Allah adalah para pelayan administrasi perjanjian dan pribadi-pribadi tertentu yang secara langsung Allah panggil sebagai utusan-utusan perjanjian (seperti para nabi yang menulis). Mereka bertanggung-jawab atas tulisan-tulisan yang termasuk di dalam Perjanjian Lama, apakah dengan cara menuliskannya atau menyetujui keikutsertaan tulisan tersebut ke dalam Kanon.

Dalam Perjanjian Baru, nabi-nabi Kristen bukanlah utusan perjanjian yang dipanggil Allah secara langsung serta menerima pendelegasian otoritasNya. Mereka menerima wahyu sejati, namun tidaklah berotoritas. Misalnya, dalam Kis 21:10 Agabus bernubuat bahwa Paulus akan ditangkap jika dia pergi ke Yerusalem. Sekiranya berita ini disampaikan oleh seorang utusan perjanjian, maka implikasi bagi Paulus adalah dia sama sekali tidak boleh pergi ke Yerusalem karena hal tersebut bertentangan dengan kehendak Allah. Namun Paulus, menyadari bahwa Agabus bukanlah seorang utusan perjanjian yang berotoritas sehingga dia merasa bebas untuk mempertimbangkan nubuatan tersebut tapi tidak terikat untuk melakukan apapun untuk meresponi hal tersebut. Para rasul adalah satu-satunya yang dipanggil Allah secara langsung dan yang menerima pendelegasian dari otoritasNya. Berarti, hanya para rasullah yang dapat menulis atau menyetujui naskah yang berotoritas.

Sama halnya, saya cenderung mempercayai bahwa “kunci” kerajaan tidaklah diberikan kepada gereja, namun secara tersurat kepada Petrus dan secara tersirat kepada para rasul lainnya (Mat. 16:19). Kunci-kunci ini milik Allah dan bukan milik para rasul, namun Allah mendelegasikan kuasa dari kunci-kunci tersebut untuk dapat digunakan oleh para rasul. Karena kunci-kunci tersebut bukanlah milik para rasul untuk diberikan, mereka tidak punya otoritas untuk meneruskannya kepada orang lain, dan tidak ada seorangpun di dunia saat ini yang memegang kunci-kunci tersebut (ini bukan posisi resmi dari Third Millennium, dan juga tidak sesuai dengan interpretasi Reformed tradisional).

Dengan cara yang sama, para nabi utusan perjanjian di Perjanjian Lama tidak dapat memilih, memberdayakan, atau mendelegasikan otoritas kepada nabi yang lain. Sebaliknya, Allah yang harus memilih dan mengotorisasi para rasul, sama halnya dengan hanya Allah yang dapat memberdayakan manusia untuk pelayanan spiritual. Secara pribadi saya yakin inilah satu alasan para murid membuang undi untuk menggantikan Yudas (Kis 1:23-26). Pada umumnya, argumentasi yang dipegang adalah bahwa para murid membuang undi karena mereka tidak dapat memutuskan siapa yang paling tepat untuk tugas tersebut, namun bukan itu yang dikatakan dalam ayat-ayatnya. Sebaliknya, terindikasi bahwa mereka membuang undi agar Allahlah yang memilih. Terlebih lagi, para murid telah menunjukkan di banyak peristiwa lain dimana mereka sanggup untuk mengambil keputusan yang sulit. Dan pas sekali, argumentasi ini juga berlawanan dengan suksesi kerasulan sebagaimana yang dipraktekkan dalam Gereja Katolik Roma karena proses tersebut membutuhkan semua utusan perjanjian yang berotoritas untuk dapat dipilih langsung oleh Allah – sementara bahkan para rasul sendiri tidak dapat memilih pengganti mereka.

Jadi, sebagaimana saya memahami Firman, suatu karya dapat pantas ikut dalam kanonisasi hanya jika karya tersebut membawa otoritas Allah yang telah didelegasikan. Hanya karya-karya yang ditulis atau disetujui oleh mereka yang telah menerima pendelegasian otoritas Allah untuk berbicara tentang hal-hal spirituallah yang dapat dianggap sebagai berotoritas.

Hal ini masih meninggalkan sebuah masalah signifikan saat berbicara tentang ide literatur lain di luar Kanon. Untuk jelasnya, tidak ada bukti yang tidak terbantahkan dalam tulisan berotoritas yang diakui selama ini (mis. kitab yang masuk kanonisasi) yang mengindikasikan bahwa Allah tidak akan pernah memanggil seorang utusan perjanjian lain yang berotoritas, sehingga tidak mungkin untuk berargumentasi secara kategori melawan kitab-kitab tambahan lainnya yang berotoritas. Mungkin argumentasi paling umum dari Alkitab adalah dari 1 Korintus 13:10, dimana “yang sempurna” dianggap merujuk kepada Kanon. Argumentasi seperti ini adalah exegesis yang sangat lemah – bukan itu maksud dari “sempurna” dalam konteks 1 Korintus 13. Argumentasi lain yang lebih baik dan didasarkan pada Firman adalah karena rasul tidak akan pernah ada lagi, maka tidak akan ada lagi penyingkapan/wahyu berotoritas. Usul Paulus tentang jemaat Korintus yang secara khusus mengejar nubuatan mengindikasikan bahwa dia tidak menginginkan mereka mengejar karunia yang lebih besar yaitu kerasulan. Paulus juga menyebut dirinya sebagai “anak yang lahir sebelum waktunya” (1 Kor. 15:8), yang mengindikasikan bahwa kerasulannya sendiri tidak lazim karena dia dipanggil setelah Yesus telah naik ke surga. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa tidak akan ada lagi rasul, sehingga hal ini menjadi penghalang besar bagi rasul-rasul baru bermunculan. Namun hal ini tidak membuktikan lebih dari argumentasi yang disampaikan.

Argumentasi yang terbaik menurut hemat saya, bukanlah karena Firman menyangkal kemungkinan munculnya seorang utusan perjanjian berotoritas yang baru, tetapi argumentasi berdasarkan sejarah bahwasanya Allah belum memanggil seorang utusan perjanjian berotoritas yang lain. Tentu saja Joseph Smith mengklaim bahwa Allah memanggilnya secara langsung, tapi hal tersebut tidak menjadikan klaimnya benar. Jika Allah benar telah memanggil dia secara langsung – tidak hanya sekadar memberikan dia nubuatan yang benar, tapi memanggil dia untuk melaksanakan perjanjian dengan umatNya – maka kita wajib untuk tunduk pada otoritasnya.

Namun karena semua utusan perjanjian berotoritas membawa otoritas Allah yang telah didelegasikan, tidak ada utusan berikutnya yang dapat bertentangan atau membatalkan validitas dari petunjuk/penyingkapan dari utusan sebelumnya. Dalam kasus Joseph Smith dan paus-paus Katolik Roma, amat sangat jelas bahwa perkataan mereka tidak sesuai dengan penyingkapan berotoritas yang sudah ada. Hal ini memberikan ruang hanya untuk tiga kemungkinan saat kita menilai klaim mereka. Pertama, bisa saja mereka utusan yang benar dan penyingkapan sebelumnya salah. Kedua, mereka bisa saja utusan palsu dan penyingkapan sebelumnya benar. Ketiga, mereka dan penyingkapan sebelumnya salah. Karena kita menyadari kontradiksi di antara penyingkapan sebelumnya di satu sisi, dan Joseph Smith dan para paus di sisi lainnya, tidak mungkin bahwa keduanya benar, baik yang mengaku sebagai utusan maupun penyingkapan berotoritas sebelumnya. Lebih jauh lagi, iman dan logika kita memampukan kita untuk tidak dapat menerima kesimpulan bahwa penyingkapan sebelumnyalah yang salah. Hal ini meninggalkan kita dengan hanya satu pilihan: penyingkapan sebelumnya benar, dan baik Joseph Smith maupun para paus bukanlah utusan perjanjian yang berotoritas.

Walaupun menurut hemat saya, kita tidak dapat secara kategori menepis semua kemungkinan akan adanya klaim penyingkapan berotoritas baru, kita dapat dengan tegas menolak semua klaim yang sejauh ini sudah muncul. Terlebih lagi, kita punya cukup alasan untuk percaya bahwa setiap kitab yang saat ini ada di dalam Kanon memang seharusnya termasuk di dalamnya.

Akhirnya, tentang Pernyataan Chicago dan posisi modern lainnya yang mengasumsikan ketidakmungkinan atas munculnya penyingkapan berotoritas baru, dari semua yang telah saya hadapi selama ini terdapat tiga jenis: alkitabiah, tradisional, dan spiritual. Saya sudah mendiskusikan argumentasi alkitabiah. Argumentasi dari tradisi ada yang cukup baik (mis. "gereja mula-mula mengumpulkan semua karya rasul yang diketahui”) atau ada juga yang lemah (mis. "kita belum menerima kitab baru, oleh karenanya kita tidak akan mungkin pernah menerima kitab baru”). Dalam kategori “argumentasi spiritual,” saya akan mengikut-sertakan argumentasi yang menyatakan menerima keyakinan pribadi dari Roh Kudus. Harus jelas bagi semuanya bahwa sekalipun argumentasi ini bisa saja faktanya benar, tetapi tetap tidak dapat diverifikasi, sehingga hanya dapat diterima secara pribadi. Beberapa dari argumentasi ini memberikan kita alasan yang sangat kuat bahwa tidak perlu mengharapkan penyingkapan baru. Namun tidak ada satupun dari argumentasi di atas yang dapat memberi bukti tak terbantahkan dalam semua situasi, sehingga secara kategori kita tidak dapat menolak semua klaim atas penyingkapan baru.

Sayangnya, jawaban ini tidak akan menyelesaikan ketegangan yang anda rasakan – dugaan saya jangan-jangan justru ini akan menambah ketegangan anda. Namun demikianpun, ini bukan alasan untuk patah semangat. Hal ini hanya berarti bahwa kita tidak dapat semerta-merta menepis klaim-klaim yang menyatakan adanya penyingkapan baru. Sebaliknya, kita harus menyikapi mereka sesuai dengan yang diajarkan oleh Alkitab, menguji dan mengevaluasi klaim-klaim tersebut untuk melihat apakah mereka benar (Ul. 18:20ff.; 1 Yoh. 4;1).

Isu ini memang sangat sulit. Kelihatannya penyelidikan anda yang jujur ini menyebabkan anda harus mengevaluasi ulang beberapa dari asumsi anda. Hal ini baik. Cocok dan sejalan dengan ide bahwa iman Reformed akan selalu membentuk ulang (reforming). Mereka yang telah mendahului kita juga tidak mendapatkan semuanya benar, dan walaupun lebih mudah untuk sekadar mempercayai kesimpulan mereka, hal tersebut tidak selalu benar. Tradisi kita tidak berotoritas, walaupun sering kita berharap demikian. Lagipula, ketidakpastian yang muncul saat menerima kemungkinan penyingkapan baru tidak akan menantang apapun yang anda telah percayai. Kenyataannya, Kanon kita adalah koleksi yang dapat salah dari kitab-kitab tanpa kesalahan (mungkin saja kita belum memasukkan beberapa yang seharusnya ikut masuk), namun semua naskah yang ada saat ini memiliki bukti yang jauh lebih menguatkan baik dari sisi sejarah, teologis, maupun spiritual dibandingkan dengan klaim palsu Joseph Smith atau klaim paus yang diambil jelas-jelas secara eisegesis.

Akhirnya, perlu untuk mengatakan bahwa iman Kristen tidaklah tergantung kepada sebuah kitab atau seseorang. Jika kepercayaan puncak kita ada atas naskah-naskah atau kanon-kanon yang ada dan bukannya dalam Kristus, dengan mudahnya kita dapat ditiup seperti daun di musim gugur. Jika dalam diskusi kita tentang ayat dan kanon iman kita menjadi goyah, hal itu menunjukkan bahwa kita telah menempatkan iman kita di tempat yang salah. Apakah hal ini mirip dengan argumentasi Mormon atas kesaksian internal dengan perasaan seperti dada yang terbakar? Ya, sedikit. Inilah satu alasan mengapa manusia tidak akan mampu menobatkan jiwa – dibutuhkan gerakan Roh Kudus yang berkuasa untuk sanggup menyelesaikan tugas besar ini.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A