Kekerasan dalam Perjanjian Lama II

Pertanyaan

Sekalipun barusan ini Anda mengomentari tentang kekerasan dalam 1 Samuel, saya tetap masih sedikit kurang jelas. Dapatkah Anda menjelaskan mengapa hal ini dapat diterima saat Allah memerintahkan pembunuhan massal dalam situasi tertentu? Perintah itu sendiri terdengar seakan-akan pada hakekatnya jahat, sementara kita tahu Allah tidak memerintahkan siapapun untuk berbuat jahat.

Jawaban

Alasan mengapa bukanlah suatu kejahatan bagi Allah untuk membunuh manusia karena memang setiap manusia sepantasnya mati. Mereka pantas mati untuk alasan yang sama dengan mereka sepantasnya dihukum dalam neraka saat mereka mati; mereka memang bersalah karena dosa. Bukankah kematian adalah konsekuensi dosa. Semua mati karena semua memang bersalah karena dosa (Rom. 5:12-14). Hal ini juga berlaku bahkan bagi bayi yang belum berbuat dosa, namun telah disatukan dengan Adam dalam dosanya sehingga juga ditemukan bersalah karena dosa (Rom. 5:12). Dosa Adam mungkin tidak terlihat seperti kejahatan yang pantas dihukum mati, tapi ingat bahwa kematian adalah hukuman yang memang telah diperingatkan kepada Adam atas dosa yang menyebabkan Kejatuhan (Kej. 2:17). Bahkan Yesus tidak mati di atas kayu salib sampai saat setelah kesalahan karena dosa ditimpakan atasNya (1 Pet. 2:24).

Lantas mengapa Allah membinasakan bangsa tertentu namun membiarkan yang lain hidup? Hal ini memang sulit. Kita tahu bahwa dalam banjir Dia membunuh semua kecuali Nuh dan keluarganya, dengan alasan perbuatan mereka amat sangat jahat (Kej. 6:5-7). Hal yang sama terjadi atas Sodom dan Gomora (Kej. 18:20). Dalam 1 Samuel 15:2-3, dengan jelas Allah menegaskan bahwa pembunuhan massal atas bangsa Amalek juga adalah respon atas dosa yang besar. Kelihatannya Allah biasanya tidak membinasakan bangsa kecuali jika mereka memang sangat jahat. Namun ketika Dia akhirnya sampai membinasakan bangsa, memang benar dari beberapa sisi yang mudapun mati oleh karena dosa yang tua. Inilah hasil dari pemikiran perjanjian Allah. Di satu pihak Dia menghukum orangtua dengan membunuh anak-anak mereka. Demikianpun, bukan berarti seakan anak-anak ini sendiri tidak bersalah. Terlebih lagi, Allah tidak berada di bawah tekanan apapun untuk memperlakukan manusia sepenuhnya sama – Dia memang berbelas kasihan kepada siapa yang Dia inginkan (Rom. 9:14-16). Dia tidak pernah memperlakukan siapapun dengan tidak adil (menghukum mereka atas apa yang mereka belum lakukan), namun Dia menunjukkan belas kasihan lebih (perlakuan baik yang tidak sepantasnya diterima) kepada sebagian.

Ketika umat Allah terlibat dalam perang melawan bangsa lain, dan ada seseorang dalam bangsa tersebut yang bertobat dan percaya, atau memang sudah setia kepada Allah, maka orang tersebut tidak mati bersama bangsanya (mis. Rahab [Ib. 11:31]; Lot [Kej. 18:17-19:29]). Pembalasan Allah tidak mendiskriminasi, namun dilakukan dengan sepantasnya dan seksama. Allah tidak menjatuhkan hukuman atas orang benar (e.g. Kej. 7:1; 18:23; Kel. 23:7; 1 Rj 8:32). Masalahnya tidak ada seorangpun yang benar dalam dirinya sendiri (Rom. 3:9-18). Hanya dengan imanlah kita dapat diperhitungkan sebagai orang benar (Kej. 15:6; Hab. 2:4; Rom. 3:21-30; Gal. 3:11-14; Ibr. 10:38; 11;6). Ini sebabnya mengapa Yesus berkata bahwa tidak ada seorangpun yang dapat sampai kepada Bapa kecuali melalui Dia (Yoh. 14:6) – bahkan bayi yang kelihatannya “polos dan tidak bersalahpun” harus dibungkus oleh darah Kristus untuk bisa masuk ke dalam hadirat Allah.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A