Sementara mempelajari doktrin pilihan, pertanyaan yang paling mengganggu saya bukanlah: Mengapa bukan semuanya? Hal itu sepertinya adalah hak prerogatif Allah untuk memilih siapapun yang Dia inginkan. Pertanyaan saya adalah mengapa saya? Mengapa Allah mau memilih saya, bagaimana saya tahu kalau perikop seperti Ef 1:4 adalah milik untuk saya klaim? Terlihat sombong saat saya melihat hidup saya dan menyatakan bahwa saya adalah bagian dari kaum pilihan. Saat melihat hidup saya, saya melihat kegagalan di hadapan Allah, gagal untuk taat kepadaNya, tidak sulit untuk hidup berdosa, bahkan kadang berdosa dengan sengaja. Saya mengasihi Kristus dan saya melihat ada perbedaan dalam hidup dan pikiran saya sejak saya diselamatkan namun saya yakin bahwa sering kelihatannya kasih saya akan Allah adalah kasih bersyarat, amat sangat tidak sempurna. Saya dapat sangat merasakan apa yang Paulus sampaikan di Roma 7:18-20.
Saya seorang berdosa, membutuhkan kasih karunia. Saya belum melakukan apapun untuk layak menerima anugrahNya (dan saya tahu kita diselamatkan oleh anugrah bukan pekerjaan kita). Apakah jawabannya sesederhana hanya oleh kasih karunia semata? Inikah yang akhirnya harus saya terima sepenuhnya? Apakah jawaban atas “Mengapa saya?” – anugrah Allah?
Dimana saya dapat menemukan jawaban atas mengapa saya? Bagaimana kita dapat pasti akan pemilihan atas kita? Bagaimana kita dapat yakin bahwa kita tidak sedang membodohi diri sendiri?
Anda telah mengangkat dua pertanyaan yang sudah sangat lama digumulkan oleh para teolog: kepastian keselamatan dan natur dari hak prerogatif Allah dalam pemilihan.
Pemilihan
Jawaban tradisional atas pertanyaan “Mengapa saya?” adalah “Karena menyenangkan Allah untuk melakukannya demikian,” dan mungkin inilah jawaban terbaik yang dapat saya tawarkan. Tentu Allah dapat saja memilih semua orang. Dia juga bisa saja tidak memilih siapapun. Dan bisa saja Dia memilih orang lain dari yang sudah Dia pilih. Namun bukan itu yang Dia lakukan; Dia memilih siapa yang Dia pilih. Alkitab memberitahukan kita bahwa dasar dari pilihanNya adalah kasihNya bagi kita (Ef. 1:4-5; Kol. 3:12), dan bahwa Dia mengasihi kita karena Dia menganggap kita sebagai milik dan telah dipersatukan dengan Kristus (Rom. 8:29; Ef.1:4-5,10-11; 1 Pet. 1:2). Namun hal ini justru mendorong pertanyaan anda untuk mundur dua langkah “Mengapa Dia menganggap kita ada dalam Kristus?”
Alkitab memang menawarkan beberapa pemahaman atas pertanyaan ini, namun bahkan pemahaman ini pun tidak akan memuaskan semua keingintahuan kita. Misalnya, Paulus menuliskan bahwa Allah memilih kita untuk “meniadakan apa yang berarti” (1 Kor. 1:27-28). Yang artinya, Dia memilih yang tidak dihargai oleh dunia demi menunjukkan kemuliaanNya dengan meninggikan yang rendah dan merendahkan yang ditinggikan. Walaupun memang dalam konteks ini Paulus sedang berbicara secara lebih langsung tentang panggilan yang menyelamatkan (effectual calling), namun kedua hal ini saling berkaitan erat (bdg. Rom. 8:30), dan dia memang berbicara tentang panggilan dalam hal pilihan Allah. Bagaimanapun, ide bahwa Allah memanggil kita atas dasar bahwa kita tidak ditinggikan kelihatannya menjadikan dasar pilihanNya berada di atas pemahaman yang sebelumnya, yaitu akan siapa kita nantinya. Namun karena siapa kita nantinya adalah hal yang telah Dia tentukan sebelumnya (Ef. 1:11), maka berarti pilihanNya didasarkan atas penentuanNya sendiri. Walupun hal ini memang konsisten secara logika, namun tidaklah benar-benar menjawab pertanyaan kita secara memuaskan.
Dan Petrus menuliskan bahwa kita dipilih untuk memberitakan perbuatan-perbuatanNya yang besar (1 Pet. 2:9). Namun inipun tidak menjelaskan kepada kita mengapa orang lain juga akan dapat memberitakan perbuatan-perbuatan besar Allah dengan sama baiknya.
Dalam Roma 9:22-23, Paulus mengindikasikan bahwa pilihan Allah baik atas kaum pilihan bagi keselamatan dan kaum terkutuk bagi kebinasaan adalah demi memuliakan kaum pilihan. Hal ini mengindikasikan bahwa Allah tidak memilih semua orang karena pengaturan seperti itu tidak akan memenuhi keinginanNya untuk memuliakan sebagian orang. Namun sekali lagi kita akan bertanya-tanya mengapa Allah tidak ciptakan saja sebuah dunia dimana keadaannya akan memuliakan Dia dan kaum pilihan secara cukup jika Dia menyelamatkan setiap orang.
Allah telah mengisyaratkan beberapa alasan bahwa memang Dia memilih sebagian dan bukan yang lainnya, dan Dia juga menjadikannya sangat jelas bahwa semua alasan ini tidaklah didasarkan atas perbuatan baik manusia. Dia memilih kita karena Dia mengasihi kita dalam Kristus, dan Dia telah memilih kita untuk memuliakan diriNya dan kita. Selain alasan ini, Dia belum memberitahukan kita, dan kita harus puas dengan cukup tahu bahwa Allah menyimpan beberapa hal rahasia (Ul. 29:29).
Untuk bagian saya sendiri, saya rasa ilustrasi Paulus tentang sang penjunan di Roma 9 menawarkan kelegaan atas ketegangan yang kita rasakan tentang hal ini. Di sana Paulus mengindikasikan bahwa Allah memilih untuk menciptakan orang tertentu bagi kemuliaan, dan sebagian lainnya bagi kebinasaan. Dengan perkataan lain, Allah sudah merencanakan untuk memiliki dua kelompok manusia, sehingga Dia menciptakan sebagian untuk masuk dalam satu kelompok, dan Dia ciptakan yang lainnya untuk masuk kelompok yang lain. Argumentasi Paulus di sini menunjukkan persamaan dengan supralapsarianisme, saya rasa anda mungkin ingin membaca komentar saya tentang supra- dan infralapsarianisme: T&J and T&J. Namun secara singkat, Paulus mengindikasikan bahwa Allah tidaklah melihat kepada sekumpulan orang-orang yang akan Dia ciptakan dan lantas membuat sebuah keputusan yang sewenang-wenang untuk menyukai sebagian dan tidak yang lainnya. Walaupun, dengan mempertimbangkan alasan Paulus di sini, jika Allah memang telah mengambil pilihan dengan sewenang-wenang, maka itupun tetap ada di dalam hakNya.
Berdasarkan ilustrasi Paulus, Allahlah sang penjunan yang ingin membuat sebuah hasil tembikar untuk dipertontonkan. Untuk hal itu, Dia mengambil sebongkah tanah liat dan membentuknya sebagaimana yang Dia kehendaki. Lantas Dia memutuskan untuk membuat sebuah mangkuk sederhana untuk anjingnya. Jadi Dia ambil bongkahan tanah liat yang lain dan menjadikannya mangkuk untuk Rover, anjingnya. Gambaran ini bukanlah menunjukkan bahwa Allah membuat dua alat dan kemudian memilih yang satu untuk dipertontonkan dan yang satunya untuk anjingnya. Namun sebaliknya, gambaran ini adalah tentang bagaimana Allah memutuskan untuk menciptakan sebuah hasil karya yang indah dan sebuah mangkuk biasa. Dalam konteks ini, tidaklah masuk akal jika hasil karya yang indah itu lantas bertanya “Mengapa saya tidak dijadikan mangkuk yang biasa?” Pilihannya bukanlah antara menjadi sebuah hasil karya indah dan mangkuk. Namun pilihannya adalah antara menjadi sebuah hasil karya yang indah atau sama sekali tidak ada. Pilihan nya hanyalah apakah Dia akan menjadikan anda sebuah vas yang indah, atau Dia sama sekali tidak menciptakan anda. Mengapa Dia memilih untuk menciptakan sebuah vas? Karena Dia menginginkannya. Mengapa Dia menciptakan anda sebagai manusia untuk ditempatkan di dalam vas tadi? Vas tersebut haruslah memiliki seseorang di dalamnya, jadi Allah menciptakan orang tersebut yang cocok bagi vasnya, seseorang yang Dia kasihi. Dia menciptakan orang yang memang cocok bagi kegunaan yang Dia maksudkan bagi orang tersebut.
Ini bukanlah satu-satunya cara Alkitab menyampaikan gambaran tentang pemilihan, namun saya rasa cara ini membantu. Saya juga percaya adalah berharga untuk membicarakan tentang bagaimana Allah memilih mereka yang telah Dia putuskan untuk diciptakan, mirip dengan infralapsarianisme (baca tautan di atas yang merujuk pada "supralapsarianisme"). Saya rasa sesungguhnya kedua perspektif ini benar adanya. Namun saat kita mendekati pemilihan dari perspektif "supralapsarian", pertanyaan “Mengapa saya?” mengurangi ketegangan bagi kita.
Terhadap pertanyaan tentang mengapa Allah harus menciptakan mangkuk anjing, jawaban nya adalah Allah memiliki tujuan untuk mereka penuhi, sehingga Dia menjadikan alat-alat yang cocok untuk tujuan tersebut, yaitu kebinasanaan. Mengapa Allah memiliki tujuan ini? Saya tidak tahu. Saya bisa menawarkan beberapa usulan. Salah satunya adalah hal ini memuliakan Dia untuk dapat menyatakan atributNya, termasuk atribut seperti amarah yang benar, sama halnya dengan keadilan. Jadi, menghukum dosa memuliakan Allah. Namun bukankah Allah bisa saja menghukum semua dosa dalam Kristus dan tidak mengirimkan siapapun ke neraka? Ya. Lantas mengapa Dia tidak lakukan hal itu? Alkitab tidak menjawab hal ini. Apa yang Alkitab sampaikan adalah hal yang tersembunyi adalah milik Allah (Ul. 29:29). Dalam beberapa perkara, kita harus puas dengan kenyataan bahwa Allah belum memberitahukan semuanya kepada kita.
Dalam hal apapun, tidak ada alasan untuk menyertakan kesombongan pada pemilihan. Kita tidak dipilih karena kita lebih baik. Justru sebaliknya, Paulus mengindikasikan bahwa kita dipilih karena kita lebih buruk (1 Kor. 1:27-31). Mungkin lebih baik mengatakan bahwa kita lebih beruntung.
Akhirnya, pemilihan kita punya tujuan: Kita akan dijadikan semakin serupa dengan gambar Kristus (Rom. 8:29). Namun hal itu bukan berarti bahwa kita tidak akan banyak berbuat dosa sepanjang perjalanan menuju keserupaan tersebut. Bahkan sesungguhnya, hanya ada dua hal yang dijamin dalam hal ini: 1) nantinya kita akan dijadikan sempurna; dan 2) kita tidak akan pernah sempurna dalam hidup ini (mis., 1 Raja-raja 8:46). Menjadi kaum pilihan tidak menjadikan kita lebih baik dari yang lain. Hal ini hanyalah memastikan bahwa nantinya kita akan disempurnakan, melalui kasih karunia Allah, dalam pekerjaanNya (Fil. 1:6).
Jaminan Keselamatan
Pertanyaan “Apakah aku dipilih?” berbeda dengan “Mengapa aku dipilih?” Menariknya, tidak semua dari tradisi Reformed sepakat dengan jawaban atas “Apakah aku dipilih?” Beberapa teolog bahkan memisahkan pertanyaan “Apakah aku dipilih?” dari pertanyaan “Apakah aku selamat?” yang menyarankan bahwa sekalipun hanya yang dipilih yang akan selamat dan hal itu tidak akan gagal, namun adalah mungkin untuk memiliki jaminan keselamatan namun bukanlah jaminan pemilihan. Alasan mereka pada dasarnya adalah karena keselamatan merupakan hal yang dialami dan bersifat sementara, dan oleh karenanya dapat diketahui, sedangkan pemilihan adalah sebuah ketetapan kekal yang tidak dapat diketahui. Secara pribadi, saya sendiri lebih menyukai ide bahwa kita dapat dan seharusnyalah memiliki jaminan akan pemilihan dan keselamatan, namun mungkin untuk diselamatkan dan tidak memiliki kepastian.
Jaminan keselamatan yang tepat dapat muncul dari paling tidak dua sumber. Pertama, adanya keyakinan teologis aka nisi dan kemanjuran Injil. Jika kita tahu bahwa semua orang yang percaya dan taat akan injil berarti sudah diselamatkan, dan jika kita tahu bahwa kita percaya dan taat akan injil, berarti kita juga seharusnya tahu bahwa kita telah selamat.
Percaya dan taat adalah hal yang cukup sederhana. Percaya, paling tidak, mengenal dan meyakini kebenaran bahwasanya karena Yesus mati buat kita, kita akan diampuni dan diselamatkan jika kita percaya kepadaNya atas keselamatan kita. Menaati injil dengan cara yang menyelamatkan adalah dengan berpaling kepada Kristus dalam imán dan bertobat dari dosa kita. Jika kita percaya dan telah melakukan hal-hal ini, berarti kita telah memiliki jaminan keselamatan. Paulus menjelaskannya seperti ini di Roma 10:9: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Memang cukup sederhana. Kita tidak membutuhkan pengetahuan yang dalam atau hidup yang sempurna untuk diselamatkan. Bahkan seorang anak kecil pun dapat memahami injil dengna cukup untuk dapat diselamatkan. Jika semua hal ini benar bagi kita, maka kita telah selamat. Dan jika kita memahami bahwa hanya inilah yang dibutuhkan untuk diselamatkan, dan bahwa semua hal ini benar bagi kita, maka pengetahuan ini seyogyanya memberikan jaminan akan keselamatan kita.
Kedua, ada kepastian di lubuk hati yang berasal dari Roh Kudus. Ini yang mungkin kita sebut dengan “kedamaian batin” yang berasal dari hubungan kita yang hidup dengan Allah. Ini adalah bagian dan satu paket dengan “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal” (Fil. 4:7). Hal ini dapat diperkuat ketika kita taat kepada Allah dalam hidup kita. Ketaatan seperti ini adalah buah (Gal. 5:22-23) yang menunjukkan, memvalidasi, serta membuktikan keselamatan kita (Yak. 2:18-20). Demikian pula hal ini dapat diperlemah ketika kita gagal hidup sebagaimana yang Allah perintahkan. Hal ini juga dapat diperkuat dengan cara bersekutu dengan Allah (mis., doa, membaca dan merenungkan Firman) dan menggunakan apa yang disebut kaum Presbitarian sebagai “instrumen kasih karunia” (seperti sakramen, pemberitaan Firman dan doa). Sebaliknya, hal ini juga dapat diperlemah ketika kita gagal melakukan cara-cara tersebut.
Dalam pengalaman saya, kebanyakan orang yang tidak memiliki kepastian akan keselamatan mereka berfokus pada bagian Firman yang mengajarkan bahwa orang percaya tidak akan berbuat dosa sebanyak orang yang tidak percaya (mis., 1 Yohanes), dan juga bagian lain yang berbicara tentang bagaimana orang-orang Kristen seharusnya bertumbuh menuju kedewasaan dalam Kristus. Standar doktrin Reformed tentang proses pengudusan secara progresif mungkin adalah sumber masalah paling utama yang saya tahu menjadi penyebab banyak orang meragukan keselamatan mereka.
Hanya sebagai catatan, saya tidak memercayai proses pengudusan progresif sebagaimana sering hal tersebut disampaikan. Saya percaya bahwa Alkitab mengajarkan pengudusan itu berkelanjutan, namun saya tidak percaya bahwa Alkitab mengajarkan pengudusan yang berkelanjutan tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan kemajuan dalam hidup seseorang. Bahwasanya pengudusan terjadi terus menerus justru membuktikan bahwa kebutuhan kita atas pengudusan juga terus berkelanjutan. Jika kita menjadi lebih baik, kebutuhan kita akan pengudusan akan berkurang, namun Alkitab tidak memberikan indikasi sama sekali akan situasi seperti ini. Kelihatannya bagi saya Alkitab menyampaikan kenyataan bahwa orang Kristen adalah orang-orang yang berdosa dan senantiasa membutuhkan pengampunan, sehingga juga adalah orang-orang yang terus membutuhkan pengudusan berkelanjutan. Tentu, juga adalah kebenaran bahwa Alkitab mengajarkan kita untuk giat maju menuju kedewasaan, dan memurnikan hidup kita agar kita dapat senantiasa menjadi semakin kurang berdosa. Namun hal ini adalah sebuah perintah sekaligus sasaran, bukan hasil yang terjamin oleh karena sudah beriman. Orang Kristen seharusnya memang semakin kurang berdosa, namun banyak di antara kita yang tidak. Ini bukan bukti bahwa kita tidak selamat. Justru ini adalah bukti bahwa kita perlu bertobat.
Saya juga merasa banyak di antara kita yang keliru dalam memahami kitab-kitab sepert 1 Yohanes dan bagian Firman lain yang berbicara tentang orang Kristen yang hidup hampir sempurna. Misalnya, 1 Yoh 5:18 berkata, "Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa." Jika hanya dibaca sekilas, Yohanes sepertinya mengatakan bahwa jika anda berbuat dosa, maka anda membuktikan bahwa anda belum selamat. Namun pemahaman seperti ini berarti tidak ada seorang pun yang selamat yang mampu berdosa, yang jelas-jelas Yohanes sendiri menyangkal (1 Yoh 1:8-2:2). Saya bukan berpura-pura menganggap bagian Firman seperti 1 Yoh 5:18 ini mudah dipahami, namun kita perlu berhati-hati dalam menggunakan keseluruhan Firman untuk membantu pemahaman kita atas Firman yang lain. Dalam kasus 1 Yoh 5:18, penjelasan yang paling logis adalah bahwa Yohanes sedang merujuk kepada dosa yang menuntun kepada maut (1 Yoh 5:17), bukan dosa pada umumnya. Setiap bagian Firman seperti ini memiliki penjelasan yang Selaras dengan bagian Firman lainnya, namun kadang kala butuh pemikiran yang dalam dan harus dipelajari untuk dapat menemukannya.
Kembali kepada kepastian, memang benar semakin bobrok hidup kita, semakin berkurang kepastian yang kita miliki. Dan saat kita menerima sedikit kepastian dari tuntunan Roh Kudus dalam batin, ada baiknya untuk bertanya apakah sungguh kita percaya dan taat pada injil (2 Kor. 13:5). Namun jika jawaban atas pertanyaan itu adalah “ya,” maka sepatutnyalah kita mendapatkan kepastian dari teologi kita.
Jangan pula kita menghakimi diri kita dengan standar yang lebih keras dari apa yang Alkitab pakai untuk menghakimi kita. Kita cukup fasih dalam menekankan anugrah, kemurahan dan pengampunan saat berbicara tentang injil kepada orang tidak percaya, dan kita perlu ingat bahwa semua hal tersebut tetap adalah standar yang menuntun kita saat kita telah beriman. Allah tidak menerima kita dalam Kristus hanya saat kita beriman, dan lantas selanjutnya mengharuskan kita untuk hilang atau mampu bertahan hanya dengan kekuatan kita sendiri. Coba pikirkan tentang contoh-contoh di Alkitab akan mereka yang setia. Petrus menyangkal Yesus untuk sementara waktu di hadapan manusia (Mat 26:69-75; bdg. 10:33), namun dia tetap selamat. Daud seorang pezina dan pembunuh (2 Sam. 11), namun dia tetap selamat. Jika kehidupan anda belum lebih parah dari para raksasa iman ini, maka belum cukup alasan untuk percaya bahwa kegagalan anda dalam mengatasi dosa dalam hidupmu membuktikan bahwa anda tidak selamat. Tentu ini bukan mengatakan bahwa tidak ada di antara kita yang sedang menipu diri sendiri, karena jelas sebagian kita pasti sedang menipu diri. Namun terkecuali dosa kita adalah menghujat Roh Kudus, maka dosa yang kita lakukan adalah indikator, bukan bukti.
Berkaitan dengan ide untuk memiliki kepastian akan pemilihan kita, saya rasa karena kita tahu bahwa semua yang sungguh memercayai injil adalah kaum pilihan, maka memiliki kepastian keselamatan juga berarti memiliki kepastian akan pemilihan. Ketetapan Allah yang kekal sering tersembunyi dari kita sebelum ketetapan tersebut terlaksana. Namun begitu hal ini terlaksana, maka akan tersingkap dalam wahyu umum dan biasanya dapat dikenali. Jika saya benar telah selamat, maka saya sungguh dipilih. Oleh karenanya, jika saya yakin akan keselamatan saya, seharusnyalah saya juga yakin akan pemilihan saya. Saya rasa Petrus memberikan ruang bagi keyakinan akan pilihan Allah dalam 2 Petrus 1:10 ketika dia berkata "Berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh.”
Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.