Yefta dan Nazar yang Berdosa

Pertanyaan

Seharusnyakah Yefta membatalkan nazarnya kepada Tuhan?

Apakah mungkin bahwa Yefta tidak benar-benar mempersembahkan putrinya sebagai korban bakaran, dan dia hanya sekadar mempersembahkannya untuk melayani Tuhan, yaitu putrinya tidak akan pernah menikah dan memiliki anak? Firman Tuhan tidak secara tersurat menyatakan bahwa dia dibunuh atau dibakar. Memang benar día (putri satu-satunya) dipersembahkan sebagai korban, namun tidak dibakar. Sebuah nazar yang berdosa tentunya tidak berarti mengikatnya sehingga harus melakukan pembunuhan yang berdosa juga, bukan? Bagaimana jika kita bernazar untuk tidak pernah membaca Alkitab atau mendengarkan Firman Allah? Tentu kita tidak mungkin menepati nazar seperti itu sebagai orang Kristen, bukan? Menepati nazar seperti ini tentulah hal yang berdosa.

Dan bagaimana dengan sumpah Yosua di Yosua 9? Ketika Yosua mengadakan sumpah dengan umat Israel, dia sesungguhnya tidak menaati perintah yang telah Allah berikan untuk mereka lakukan – yaitu membunuh penduduk kota tersebut – namun dia tidaklah mengadakan sumpah untuk terus menerus tidak menaati Allah. Hal ini adalah sebuah tindakan khusus yang Allah sampaikan untuk mereka lakukan, dan bukan hukum perilaku yang berkelanjutan. Bahkan dalam hal Yosua terdapat konsekuensi bagi umat yang menipu mereka. Mereka tidak dibunuh namun dijadikan pelayan atau budak seumur hidup. Mereka tidak punya kebebasan sekalipun jika mereka dapat tetap hidup. Apakah dia menemukan cara yang sah untuk tetap memenuhi sumpahnya, ataukah dia berdosa?

Jawaban

Beberapa komentator percaya bahwa Yefta tidak mungkin benar mengorbankan putrinya. Mereka meyakini hal ini atas dasar bahwa mengorbankan manusia adalah kebencian bagi Allah, sehingga menyarankan bahwa putrinya didedikasikan dengan cara lain (mis. tetap gadis selamanya). Memang Firman tidak secara tersurat mengatakan bahwa Yefta membunuh putrinya, namun apa yang disampaikan sangatlah mendekati hal ini sekalipun tanpa menggunakan kata-kata tersebut.

Kebanyakan ahli sepakat bahwa bagian Firman ini dengan kuat mengimplikasikan bahwa Yefta mengorbankan putrinya, sekalipun hal tersebut tidak disampaikan secara gamblang. Ada banyak detil yang mengimplikasikan bahwa dia membunuh putrinya, termasuk:

Ay. 35 -- Hati Yefta hancur luluh karena dia telah bersumpah untuk mengorbankan apa yang pertama keluar dari pintu rumahnya sebagai korban bakaran (ay. 31), dan putrinya adalah hal pertama yang keluar dari pintu rumahnya. Yefta mengatakan bahwa dia tidak dapat menarik sumpahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Yefta yakin dia harus membunuhnya.

Ay. 36 -- Putri Yefta setuju bahwa Yefta harus menepati nazarnya untuk mempersembahkan dia sebagai korban bakaran.

Ay. 39 -- Si penulis menyampaikan bahwa Yefta melakukan kepada putrinya apa yang telah dinazarkannya itu. Nazarnya, tentu saja, adalah putrinya akan menjadi korban bakaran (ay. 31). Hal ini sangat mendekati pernyataan tersurat bahwa dia membunuhnya, sekalipu tidak ada kata seperti “korban” atau “persembahan” yang muncul dalam ayat ini. Bagian Firman tidak berisikan informasi apapun yang mengindikasikan bahwa Yefta memikirkan ulang nazarnya, atau mempertimbangkan cara alternatif lain untuk memenuhinya. Jika benar dia tidak membunuh putrinya, maka pada titik ini ayat ini cukup menyesatkan.

Ay. 40 -- Sebuah peringatan tahunan akan putrinya menjadi adat di Israel, yang sepertinya mengimplikasikan terjadinya sebuah peristiwa yang luar biasa. Memperuntukkan putrinya sebagai seorang Nazirit, atau tetap gadis selamanya, atau hal lainnya, kelihatannya tidak cukup signifikan sampai menjadi sebuah peringatan nasional selama 4 hari setiap tahun. Natur dari peringatan tersebut mengimplikasikan sebuah kejadian yang ekstrim bagi putrinya seperti dikorbankan sebagai korban bakaran.

Jadi, singkatnya, saya percaya Alkitab mengajarkan bahwa Yefta membunuh putrinya dan mempersembahkannya kepada Allah sebagai korban bakaran. Mungkin saya juga akan menambahkan bahwa nazar itu sendiri kemungkinan memang ditujukan bagi seseorang bahkan ketika nazar tersebut dibuat. Bukankah, logikanya memang manusialah yang paling mungkin keluar untuk menyambut kepala keluarga saat dia tiba. Hewan tidak lazim disimpan di dalam rumah, dan juga aneh bagi hewan untuk menyambutnya saat pulang dari sebuah perjalanan jauh dan keluar menyambutnya. Bisa saja Yefta mengantisipasi hambanya atau orang lain yang tidak ada hubungan darah dengannya.

Pertanyaan apakah Yefta berdosa dengan memenuhi nazarnya, berdasarkan asumsi día membunuh putrinya, memang sulit. Untuk mencari jawaban, saya rasa hal pertama untuk dipahami adalah bahwa korban manusia itu sendiri tidaklah jahat. Sebagaimana yang telah saya tulis dalam salah satu tulisan perihal Yefta:

"Saya rasa tidak semua korban manusia adalah kekejian, namun yang dikutuk Alkitab ialah: (1) korban manusia yang tidak perlu; dan (2) korban manusia penyembahan berhala.

"Pelarangan Alkitab terhadap korban manusia berkenaan dengan ritual penyembahan berhala biasanya tersurat jelas. Keluaran 13 secara prinsip menuntut korban manusia, dan kemudian juga menuntut bahwa prinsip karya penebusan ikut bekerja pada saat yang sama. Pengorbanan Kristus, jelas adalah sebuah korban manusia, dan itulah pengorbanan puncak dalam teologi Kristen. Hal tersebut adalah pengorbanan sempurna yang menjadi rujukan bagi semua yang lain. Bahkan dalam penebusan di Keluaran 13, jelas dipahami bahwa hewan tidaklah cukup untuk menggantikan manusia, namun hal tersebut merupakan simbol tipologi untuk mengantisipasi sebuah penebusan yang jauh lebih besar. Kita juga memiliki bentuk lain dari korban manusia dalam perang suci, dimana seisi kota dibumihanguskan sebagai korban bakaran bagi Allah, berikut pembantaian dari seluruh penduduknya (mis. Ul. 13; bdg. Yos. 6)."

Menurut hemat saya Yesus sendiri cukup untuk membangun dasar argumentasi bahwa bukan hanya korban manusia itu baik, namun sepenuhnya dituntut oleh Allah. Pengulangan yang melekat dalam sistem hukum Musa memang dimaksudkan untuk salah satunya menunjukkan bahwa hewan bukanlah pengganti yang cukup bagi manusia (Ibr. 10:10-14).

Kini, apakah pengorbanan putri Yefta adalah berdosa atau tidak mungkin masih terbuka untuk perdebatan. Namun saya tidak yakin hal tersebut dapat dengan benar dikutuk semata-mata atas dasar hal tersebut melibatkan korban manusia. Perikop di Hakim-hakim 11 tidak menyatakan secara tersurat bahwa Yefta melakukan apa yang baik atau jahat. Perikop itu juga tidak memuji atau mengutuknya. Dalam beberapa cara, bagian ini disusun sedemikian rupa untuk meneguhkan Yefta, dan dalam beberapa cara lainnya untuk mengutuknya.

Sejauh meneguhkan Yefta, kita memiliki banyak perikop dari hukum Taurat yang memerintahkan kita pentingnya untuk menepati sumpah/nazar. Kita juga memiliki fakta bagaimana Allah menepati bagianNya dengan Yefta dengan memberikan kemenangan kepadanya dalam peperangan. Dan secara signifikan, kita punya fakta bahwa putrinya setuju bahwa día harus menepati nazarnya dan bagaimana sesudahnya seluruh bangsa memperingati día sebagai seorang pahlawan. Jelas, paling tidak bagian putri Yefta dalam hal ini dipandang terhormat. Mungkin dia dapat dibandingkan dengan Kristus, yang tidak berdosa ketika dia menyerahkan diriNya kepada maut di tangan “orang-orang durhaka” (Kis 2:23), yang dalam perbandingan ini dapat dikatakan mengutuk Yefta. Atau, mungkin dia dia seharusnya diterima sebagai komentator yang dapat dipercaya atas kewajiban Yefta yang sebenarnya. Bukankah Yesus, tidak pernah meneguhkan tindakan mereka yang membunuhNya, namun putri Yefta melakukan hal tersebut.

Perihal mengutuki Yefta, tentu seharusnya kita merasakan kengerian atas nazar tersebut dan bagaimana akhirnya nazar tersebut terlaksana. Kisah ini memang tidak diperuntukkan supaya kita merasa baik-baik saja dengan kondisi di Israel pada saat itu. Kisah ini memang dimaksud untuk menunjukkan betapa mengerikannya kehidupan di Israel dengan tidak adanya raja yang baik. Jelas Yefta mengucapkan nazar yang tidak seharusnya dia katakan.

Sembari kita mencoba untuk mempertemukan ide-ide terkait ini, muncul sebuah pertanyaan etis: Apakah kita terjebak dalam situasi dimana tidak ada tindakan yang benar? Bukankah Paulus menuliskan bahwa Allah akan selalu menyediakan jalan keluar untuk menghindari dosa (1 Kor. 10:13). Walaupun benar, Paulus dalam perikop ini secara khusus berbicara tentang penyembahan berhala, tapi banyak ahli yakin bahwa prinsip dalam hal ini memiliki aplikasi universal. Namun bahkan ketika kita menerima aplikasi universal tersebut, apakah hal ini berarti harus selalu ada jalan keluar di setiap langkah? Mungkin jalan keluar bagi Yefta adalah menghindari dan tidak membuat nazar sama sekali. Mungkin dia sudah kehilangan kesempatan untuk menghindari dosa sebelum dia pulang ke rumah dari medan peperangan.

Saya rasa konteks kondisi yang mirip terjadi di Yosua 9. Adalah berdosa bagi Yosua dan para tua-tua untuk membuat perjanjian, dan lantas perjanjian itu mewajibkan mereka untuk berdosa. Mereka terjebak dengan buah simalakama: mengingkari dan menepati janji tetap menuntun mereka untuk berdosa. Jalan keluar dalam hal ini dilewatkan ketika nazar dibuat. Bahkan perikop memberitahukan kita jalan keluar seperti apa yang mereka tidak lakukan: “Lalu orang-orang Israel mengambil bekal orang-orang itu, tetapi tidak meminta keputusan TUHAN” (Yos. 9:14). Pada akhirnya, apa yang harus mereka putuskan bukanlah mana tindakan yang benar, namun kewajiban mana yang lebih besar, kewajiban untuk menepati sumpah atau kewajiban untuk membunuh penduduk. Solusi mereka bukanlah tanpa dosa, namun hal tersebut kenyataannya lebih baik daripada mengingkari sumpah.

Dalam estimasi saya, hal yang sama terjadi dalam kasus Yefta. Nazar untuk mengadakan korban manusia yang tidak perlu adalah berdosa, yang mewajibkannya melakukan dosa selanjutnya. Namun putri Yefta tidaklah berdosa. Dengan tepat dia memutuskan bahwa kewajiban yang lebih besar adalah menepati nazar tersebut. Jika Yefta tidak menepati nazarnya, bisa saja beresiko membangkitkan amarah Allah, dan Israel mungkin saja kalah di tangan musuh mereka dalam peperangan selanjutnya. Saya rasa tujuan dari bagian kisah ini adalah tanpa kehadiran raja yang baik di Israel, maka mereka akan membuat keputusan bodoh yang menjerumuskan mereka ke dalam situasi buruk yang tidak terhindarkan.

Berkenaan dengan situasi dalam Yosua 9, menurut saya Yosua memang membuat sumpah untuk seterusnya tidak menaati Allah. Instruksi untuk membunuh bangsa penyembah berhala di Tanah Perjanjian dimaksudkan untuk membangun sebuah bangsa tanpa adanya penyembahan berhala. Hal ini adalah kewajiban seterusnya, yang sekaligus termasuk instruksi untuk membunuh bangsa penyembah berhala baru yang muncul setelah yang pertama telah dibunuh. Solusi Yosua tidak benar, namun itu yang terbaik yang dapat dia lakukan dalam kondisi tersebut. Dengan memperbudak bangsa kafir, dia “membereskan” kerusakan yang timbul oleh sumpah bodohnya, namun dia tidak menghilangkan kerusakan tersebut. Tetap adalah dosa untuk membiarkan mereka hidup, dan dosa tersebut terus berlanjut saat mereka dibiarkan hidup sembari tetap menyembah berhala. Dalam contoh ini, nazar untuk berdosa bersifat mengikat. Karena akan lebih berdosa jika dia mengingkari sumpahnya, Yosua mau tidak mau melakukan dosa yang lebih kecil dengan membiarkan mereka tetap hidup.

Dalam kondisi bagaimanapun, saya tidak yakin bagaimana untuk mendukung perbedaan antara dosa yang terjadi dalam satu kejadian dan dosa berkelanjutan dalam hal bernazar. Apakah kita mengatakan bahwa sumpah untuk berdosa melawan Allah satu kali bersifat mengikat, sementara dosa untuk berdosa melawan Dia berkali-kali tidak? Usul yang cukup menarik namun bagaimana kita dapat mendukung ide seperti ini secara alkitabiah? Dari contoh mana kita dapat mengambil kesimpulan ini? Saya senang jika ada argumentasi yang dapat mendukup hal ini.

Kembali kepada respon terhadap nazar yang berdosa secara umum, mungkin ada situasi dimana dosa yang lebih besar adalah saat menepati nazar tersebut. Masing-masing kasus haruslah dievaluasi dalam kondisi konteks masing-masing. Yang ingin saya sampaikan adalah kita tidak memiliki contoh-contoh alkitabiah akan kasus-kasus dimana mengingkari sumpah menjadi hal yang lebih kurang jahat dari dua hal jahat. Dalam kasus Yefta, Yosua, dan Yakub menikahi Lea, nazar/perjanjianlah yang didahulukan. Hal yang sama terdapat juga di dalam Hukum Taurat perihal janji sembrono dalam Bilangan 30. Di sana kita belajar bahwa adalah sebuah dosa untuk mengucapkan nazar dengan begitu saja (Bil. 30:8; karena hanya dosa yang membutuhkan pengampunan) dan juga berdosa untuk mengingkari nazar yang sedemikian (Bil. 30:15). Kita juga diberitahu bahwa nazar yang begitu saja tetap akan “berlaku” atas yang membuatnya (Bil. 30:9). Bahasa seperti ini mengingatkan akan musuh dalam peperangan, atau mungkin saksi di pengadilan, yang mengimplikasikan bahwa nazar akan menjadi musuh yang membuatnya. Yang berarti, nazar bersifat mengikat dan hasilnya akan tidak baik.

Secara intuisi dan emosi, saya ingin dapat mengatakan bahwa nazar yang berdosa tidak perlu ditepati. Namun saya tidak tahu caranya untuk mendukung ide ini secara alkitabiah, kecuali mengatakan bahwa mungkin saja dalam kasus-kasus tertentu, kejahatan yang lebih kurang adalah mengingkari sumpah. Saya akan senang jika salah, dan belajar bahwa tidak ada nazar berdosa yang bersifat mengikat. Namun sampai saat ini saya lebih yakin bahwa Alkitab mengajarkan betapa pentingnya sumpah/nazar, dan semua bersifat mengikat bahkan ketika kita terlanjur bersumpah untuk melakukan hal yang berdosa. Pertanyaan di benak saya adalah: Tindakan apa yang lebih kurang berdosa ketika kita terikat oleh nazar yang berdosa? Dan sesuai apa yang saya sampaikan sebelumnya, saya rasa setiap kasus haruslah dievaluasi dalam konteks kondisinya masing-masing.

Pertanyaan Lanjutan:

Terima kasih atas respon anda. Dalam bacaan saya awalnya, memang saya mengartikan juga bahwa Yefta mempersembahkan putrinya sebagai korban bakaran. Nanti saya akan mempelajari respon anda dengan lebih detil dengan membuka Alkitab. Namun apa respon anda terhadap seseorang yang dengan sengaja bersumpah untuk membunuh orang-orang Kristen. Kemudian mereka menjadi orang Kristen. Bagaimana sumpah mereka dapat tetap berlaku. Saya sadar semuanya ini hanya hipotesa, namun saya tidak yakin keadaan ini berbeda dengan sumpah pernikahan pasangan homoseksual.

Saya juga terpikir hal yang lain, saya tidak tahu apakah hal ini juga dapat diaplikasikan, namun bagaimana dengan janji pernikahan “untuk mengasihi, menghormati, & menaati?” Tentu saya sadar sudah tidak ada lagi tercantun dalam sumpah di jaman modern sekarang untuk menaati, dan kalaupun masih ada, biasanya diingkari secara rutin. Namun, misalkan saja si istri bersumpah untuk “menaati” suaminya dan kemudian sang suami menyuruhnya untuk mencuri atau membunuh. Saya selalu mendengar kita harus menaati Allah lebih dari manusia, dan untuk menaati suami sepanjang mereka tidak meminta kita sengaja berdosa. Para rasul jelas menaati Allah dibanding manusia, namun mereka tidak bersumpah untuk menaati para pemimpin di jamannya. Mereka berada di bawah otoritas para pemimpin itu, tapi bukan karena sumpah. Jadi jika seorang istri diminta untuk berdosa oleh suaminya, apakah día harus melakukannya? Satu-satunya contoh yang terpikir oleh saya adalah Abraham dan Sara. Sara menaati Abraham dan Abrahamlah yang disalahkan telah berdosa. Namun tidak tercantum apakah Sara seharusnya menaati atau tidak. Ada banyak peristiwa dalam Alkitab yang hanya sekadar menyampaikan apa yang mereka lakukan, tanpa langsung mengeluarkan penghukuman - misalnya seperti Daud yang punya banyak istri, dll. Ini hanya pemikiran saya saja.

Jawaban dari Pertanyaan Lanjutan:

Ya, sebuah sumpah yang dibuat sebelum anda menjadi seorang Kristen mungkin sedikit lebih rumit. Kebanyakan teolog sepakat, misalnya, sebuah perceraian sebelum pertobatan tidak akan menghalangi anda jika anda lantas ingin menikah lagi sebagai seorang Kristen. Satu alasan untuk hal ini adalah dalam 1 Korintus 7 Paulus mengajarkan bahwa jika seorang tidak percaya meninggalkan seorang percaya, maka orang percaya tersebut tidaklah terikat. Jelas, sumpah pernikahan mengikat orang percaya dengan lebih kuat disbanding bagi orang tidak percaya. Dan hal ini mungkin memiliki implikasi bagi sumpah lainnya juga, khususnya sumpah yang dibuat sebelum menjadi orang percaya.

Berkenaan dengan contoh dari otoritas suami atas istri, hal tersebut kelihatannya masuk dalam kategori “menaati Allah daripada manusia,” sebagaimana yang telah anda sarankan. Sumpah pernikahan memperumit hal ini, namun dalam kenyataannya kita semua memiliki sumpah yang tak terelakkan untuk menaati Allah juga karena kita berada dalam perjanjian dengan Dia, dan perjanjian ini menuntut ketaatan kita. Dalam kasus yang paling buruk, jika janji pernikahan kita dibuat kepada satu sama lainnya dan juga kepada Allah, maka berarti kita memiliki sumpah yang berkonflik dengan Allah. Dalam kasus seperti ini, tentu sulit untuk menang, kecuali kita mengatakan bahwa yang kejahatannya lebih kurang adalah yang baik. Dalam kasus yang paling baik, janji pernikahan kita buat bagi satu sama lainnya namun tidak kepada Allah (saya rasa hal ini akan tergantung kata khusus yang dipakai dalam janji tersebut). Kebanyakan, Allah hanyalah sebagai saksi, artinya Dialah yang akan menuntut kita untuk menepati janji kepada pasangan kita, atau Dia tidak disebut dalam janji tersebut. Dalam kasus seperti ini, kita tidak mengadakan janji kepada Allah (melainkan pasangan kita). Konflik yang muncul adalah untuk mengetahui sumpah yang mana yang menjadi Prioritas, sumpah kepada manusia atau kepada Allah. Secara umum saya rasa Allah akan menang, baik dari sudut pandang otoritasNya maupun contoh-contoh dalam Alkitab.

Satu kesulitan dengan kasus Yefta adalah, perjanjiannya dan nazar yang dibuat begitu saja, keduanya dilakukan dengan Allah. Jadi, Yefta harus memutuskan mana yang lebih buruk, mengingkari perjanjiannya, atau mengingkari nazar khusus tentang korban manusia untuk meresponi kemenangan militer.

Kasus dengan Yosus lebih sulit dalam beberapa hal. Para pemimpin Israel mengadakan sumpah mereka demi Tuhan. Tidak jelas bagi saya apakah hal ini mengimplikasikan bahwa Allah adalah saksi, atau Allah ikut berbagian di dalam perjanjian tersebut. Saya cenderung berpikir bahwa sumpah tersebut mengakibatkan kutuk dari Allah terhadap yang mengingkari yang berarti jika Yosus dan para tua-tua mengingkari janji mereka, mereka mendatangkan kutuk atas diri mereka dari Allah. Jelas, hal ini ingin mereka hindari. Mungkin mereka memutuskan akan terjadi kutuk yang lebih besar jika mereka mengingkari sumpah tersebut dibandingkan jika mereka tidak menaati instruksi Allah untuk membinasakan tanah para penyembah berhala.

Dan mungkin hal ini dapat membantu untuk memutuskan hal yang benar untuk dilakukan. Dalam Alkitab, berkat dan kutuk Allah berpadanan dengan kebaikan dan dosa kita. Kita dapat memutuskan apa yang baik dengan melihat apa yang Allah Berkati, dan kita dapat memutuskan apa yang jahat dengan melihat apa yang Dia kutuk. Semakin besar kutuk, semakin besar dosa yang mendatangkan kutuk tersebut.

Sayangnya, Alkitab tidak menyediakan banyak contoh tentang sumpah untuk berbuat dosa sehingga kita hanya punya sedikit informasi untuk dapat menarik prinsip umum. Saya rasa jika seorang percaya bernazar kepada Allah untuk tidak menaatiNya, dan akan terkutuk jika ia tidak menepatinya, tentu Allah akan menolak memvalidasi sumpah tersebut. Bukankah kita tidak dapat memaksa Allah untuk mengadakan perjanjian dengan kita. Dia yang harus bersedia. Berdasarkan logika ini, sumpah sedemikian sebenarnya bukanlah sumpah. Namun masalahnya, sekalipun saya cukup yakin kalau logika ini dapat diterima, namun contoh dari Yefta dan Yosua memang membingungkan. Kisah mereka tidak sesuai dengan apa yang secara intuisi saya anggap benar, kalau memang pemikiran saya dapat diterima.

Namun mungkin hal ini hanya butuh pemikiran lebih dalam. Sekalipun saya tidak berharap Allah akan memvalidasi nazar Yefta, tetap kemenangan militer Yefta sepertinya memberikan indikasi bahwa Allah memvalidasi nazarnya. Oleh sebab itu, Yefta pun harus menepati bagiannya.

Dengan dasar logika yang sama, sumpah Yosua bersifat mengikat karena divalidasi oleh pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan sumpah tersebut, yaitu bangsa kafir, orang Gibeon. Namun sumpah ini memiliki otoritas yang lebih rendah dibanding perjanjian dengan Allah. Jika demikian, mengapa menepati sumpah dengan manusia dan mengingkari perjanjian dengan Allah? Mungkin karena tingkat dosa yang terlibat dalam hal ini. Jelas, para tua-tua dan Yosua memutuskan bahwa akan lebih berdosa untuk mengingkari sumpah dengan manusia daripada perjanjian dengan Allah. Dan sekali lagi, mungkin mereka tiba pada kesimpulan ini dengan mempertimbangkan kutuk yang akan menimpa mereka yang melekat pada masing-masing pilihan. Melawan otoritas yang lebih tinggi memang berbuat dosa yang lebih besar, namun hal tersebut bukanlah satu-satunya faktor dalam penentuan seberapa buruk dosa yang terlibat. Ketika Yosua melakukan perhitungan (dan dia tahu semua detil yang tidak kita ketahui), día memutuskan bahwa tindakan terbaik adalah untuk membiarkan orang Gibeon hidup. Pada titik ini, inilah penjelasan terbaik yang dapat saya berikan, walaupun jelas bukannya tanpa kekurangan.

Dan ya, Alkitab sering hanya memberikan fakta tanpa penilaian secara tersurat. Namun dalam banyak kasus, kita dapat menilai dari konteks literaturnya, atau tindakan dari karakter yang bijak, atau peristiwa sejarah yang mengikutinya, tentang apakah tindakan tertentu itu baik atau jahat. Terkadang kita tidak bisa menemukan, tapi tidak ada salahnya jika kita coba sebaik mungkin. Dalam kasus Yefta dan Yosua, saya akui perikopnya tidak terlalu jelas. Namun saya cukup yakin berdasarkan detil yang tercatat dalam kedua peristiwa tersebut bahwa Yefta dan Yosua bertindak benar dalam menepati sumpah/nazar yang mereka ucapkan dengan begitu saja, dan saya juga yakin bahwa hukum dalam Bilangan 30 konsisten dengan kesimpulan ini.

Topik Terkait:

Jephthah and Sinful Vows - Part 2

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A