Mengapa Allah menciptakan sebuah dunia dengan termasuk adanya kemungkinan bagi kejahatan?
Jawaban atas pertanyaan ini cukup rumit. Untuk memahaminya, kita perlu memahami natur (sifat alami) Allah dari pelbagai sudut pandang yang akan dibahas sesuai judul-judul berikut: (1) Bagi Kemuliaan Allah: Tujuan Allah dalam Semua yang Dia Kerjakan; (2) Bagi Kemuliaan Allah: Kemahakuasaan (omnipotence)dan Kemahatahuan (omniscience) Allah; dan Bagi Kemuliaan Allah: Oh Kesalahan yang Menggembirakan (Felix Culpa, latin)
Bagi Kemuliaan Allah: Tujuan Allah dalam Semua yang Dia Kerjakan
Apa tujuan Allah dalam melakukan semua yang Dia lakukan? Rasul Paulus menuliskan: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. Amen!” (Rom. 11:36). Siapa lagi selain Allah yang layak menerima kemuliaan Allah? Mengingat Allah adalah kebaikan yang tertinggi dan termulia, tidak ada satu halpun dan siapapun dalam seluruh ciptaan yang layak menerima kemuliaan yang adalah milik Allah semata — “Aku ini TUHAN, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemasyhuran-Ku kepada patung.” (bdg. Yes. 42:8). Akhir puncak dari segala sesuatunya dan tujuan Allah dalam semua yang Dia kerjakan adalah kemuliaanNya sendiri.
Sekalipun ada banyak hal terungkap dan digenapi saat kita menelusuri perjalanan sejarah yang menebus - baik dalam wujud pernyataan kasih, anugerah, kemurahan, penghukuman, perjanjian, kerajaan Allah, dll. - kita juga menyaksikan kemuliaan Raja kita sebagai satu tujuanNya yang terus berkelanjutan di sepanjang Alkitab. Musa memahami kemuliaan Allah dan bahkan memohon untuk melihatnya (Kel. 33:18). Allah berjanji bahwa seluruh bumi akan penuh dengan kemuliaanNya (Bil. 14:21). Kita bermegah dalam namaNya (1 Taw. 16:10) dan mengumandangkan kemuliaanNya di antara bangsa-bangsa (1 Taw. 16:24). Bahkan kebinasaan kudus atas musuh-musuh Allah memuliakanNya. Kemuliaan Allah kekal (Maz. 104:31; bdg. Maz. 86:12; 111:10). Kita juga menyaksikan kemuliaan Allah yang penuh kasih sebagai tujuanNya dalam pemilihan (Yes. 43:7) saat Paulus menuliskan hal berikut di Roma 9:22-23:
Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan --- justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan.
Berarti, Allah menyingkapkan kekayaan kemuliaanNya dalam pemilihan atas anak-anak yang Dia pilih. Hal ini Dia kerjakan sebelumnya, bahkan sebelum penciptaan dan kejatuhan (Mat. 25:34; Ef. 2:10; 2 Tes. 2:13; 2 Tim. 1:9). Jadi, dalam pemilihan Allah berkehendak untuk menyatakan kemuliaanNya dan bersuka atas mereka yang Dia ciptakan bagi kemuliaanNya sendiri.
Demikian pula halnya penebusan juga memuliakan Allah. Paulus mengajarkan dalam kitab Efesus bahwa penebusan sesuai dengan tujuan kehendak Allah (Ef. 1:6,11), bagi pujian anugerahNya yang mulia (Ef. 1:6), dan puji-pujian bagi (Ef. 1:12, 14). Jadi, Allah dimuliakan dalam penebusan umatNya.
Mengapa Allah menebus manusia? Dia lakukan itu bukan karena ada manusia yang layak menerimanya, namun semata-mata bagi kemuliaanNya sendiri (bdg. Ams. 14:28). Kesukaan dan kegembiraan anak-anakNya memuliakan Dia. Sekalipun Allah cukup dalam diriNya dan sama sekali tidak membutuhkan apapun dari makhluk ciptaan yang telah Dia ciptakan, Dia perintahkan semua anakNya untuk memuliakan Dia dalam segala yang mereka kerjakan (Mat. 5:16; 1 Kor. 10:31; bdg. 1 Kor. 6:19-20; Kol. 3:17, 23; 1 Pet. 4:11). Tujuan hidup puncak manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya (WSC 1).
Allah menciptakan alam semesta untuk menyatakan kemuliaanNya — Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya (Mazmur 19:1).
Bagi Kemuliaan Allah: Kemahakuasaan (omnipotence)dan Kemahatahuan (omniscience) Allah
Allah omnipoten, atau maha kuasa. Tanpa keraguan secuilpun, Dia mampu untuk membuat sebuah dunia dimana kejahatan, dosa, kedukaan, dan penderitaan sama sekali tidak pernah ada. Keberadaan surga adalah bukti alkitabiah akan hal ini. Di langit dan bumi yang baru, sama sekali tidak akan ada dosa atau kejahatan (bdg. 1 Kor. 6:9; Wah. 21:26-27; 22:15). Tidak ada air mata. Tidak ada kematian, perkabungan, ratap tangis, atau kesakitan (bdg. Wah. 21:4). Karena Allah mampu membuat surga seperti ini, tentu Dia juga mampu menjadikan dunia yang seperti ini kalau memang itu yang Dia kehendaki.
Jika demikan, mengapa Allah tidak ciptakan saja sebuah dunia yang sama sekali tidak ada kemungkinan bagi kejahatan untuk masuk atau hadir di dalamnya? Dengan kata lain, mengapa tidak ciptakan surga saja dibandingkan bumi ini? Mengapa tidak tempatkan saja seluruh ciptaanNya dalam surga sejak awal dan selesai dengan semuanya? Ini adalah pertanyaan penting dan menarik untuk direnungkan.
Bukan hanya Allah maha kuasa, Dia juga maha tahu. Día tahu sepenuhnya segala sesuatu, bahkan hal-hal yang masih belum ditemukan dan dipahami oleh mereka yang Dia cipta. PengetahuanNya sempurna dan total. Dia tahu semua yang telah terjadi, semua yang akan terjadi, dan semua kemungkinan lainnya. PengetahuanNya mutlak dan bukan dari hasil perolehan. Dan Dia mengaplikasikan pengetahuanNya dengan hikmat yang sepenuhnya sempurna. Dia tahu akhir sejak dari awal (Yes. 46:9-10). Dia tahu hal-hal kecil (Mat. 10:29) dan perkara besar (Ams. 21:1) – semua sama saja. Dia tahu kelahiran kita sebelum kita atau bahkan orangtua kita mengetahuinya (Maz. 139:15-16). Dia tahu setiap langkap kita sebelum kita melangkah. Dia tahu setiap pikiran kita sebelum kita memikirkannya (Maz. 139:4). PengetahuanNya sedemikian tepat sampai bahkan Dia tahu jumlah persis rambut di kepala kita setiap saat (Mat. 10:29-30). Dia mengenal hati anak manusia dengan sempurna (1 Rj 8:39; 1 Yoh 3:20). Pengetahuan Allah sempurna, mutlak, total, dan lengkap.
Karena Allah maha tahu, Dia tahu bahwa kebaikan dapat hidup berdampingan dengan kejahatan, terlebih saat melihat demikianlah Dia menciptakan hal itu sejak awal. Saat Adam jatuh, terbukalah kenyataan bahwa manusia telah menjadi seperti Allah, bukan hanya tahu tentang keberadaan kebaikan tetapi juga kejahatan (bdg. Kej. 3:22). Dan Allah tahu sejak sebelumnya bahwa dosa pasti akan masuk ke dalam duniaNya yang, “amat sangat baik” (Kej. 1:31). Dari mana kita tahu hal ini? Karena bukan hanya Allah maha tahu, Dia juga telah menetapkan bahwasanya AnakNya yang tunggal akan mati bagi dosa kaum pilihan (1 Pet. 1:19-20; bdg. Mat. 25:34; Kis. 2:23; Rom. 8:29; Ef. 1:4; Wah. 13:8).
Seseorang tidak mungkin membutuhkan Juru Selamat untuk membebaskannya dari dosa jika tidak ada dosa. Penetapan Allah dari sejak sebelumnya tentang kehadiran seorang Juru Selamat jelas memperhitungkan Kejatuhan. Sesuai dengan kehendak Allah yang telah ditetapkan, niatNya bagi kemuliaanNya yang lebih besar hanya dapat direalisasikan sepenuhnya lewat inkarnasi dan salib. Allah pasti telah menetapkan Kejatuhan bagi kemuliaanNya yang lebih lengkap.
Bagi Kemuliaan Allah: O Felix Culpa
O Felix Culpa! adalah frasa yang sangat dikenal di kalangan teologis. Ini dari bahasa Latin yang artinya “Oh kesalahan yang menggembirakan!” Dalam istilah yang paling mentah dan mendasar, hal ini ibaratnya mengambil lemon yang paling asam dan lalu menggunakannya untuk menghasilkan minuman lemon yang paling enak. Dan betapa enak minumannya!
Dalam gambaran yang lebih besar, oleh karena penetapan Allah akan dosa, dunia telah diangkat ke tatanan yang lebih tinggi dari pondasi awalnya. Kasih Allah yang lebih besar tersingkapkan bagi umatNya oleh karena dosa lewat benih si perempuan, inkarnasi, salib, kebangkitan, dan kemenangan atas kematian. Dan bagi Allah, hal ini bukanlah baru terpikir setelah kejadian, namun merupakan rencanaNya yang telah Dia tetapkan sejak awal. Allah menggunakan dosa dan menghadirkan ciptaan baru, yaitu yang lebih besar dari yang pertama (cf. Kej. 50:20; Rom. 5:20; 8:28). Berarti, pada tahap tertentu, Kejatuhan adalah sebuah peristiwa kegembiraan dan bukan kedukaan!
Di dalam taman, Adam mengenal Allah sebagai Penciptanya (Gen. 1:1-2:4), namun setelah Kejatuhan dia mendapatkan bahwa Allah juga adalah Penebusnya (Kej. 3:21). Sekalipun kedua hal ini memuliakan Allah, dan jelas mengenal Allah sebagai Pencipta adalah hal yang sangat indah, adalah hal yang tak terukur dan lebih menakjubkan saat kita dapat secara pribadi mengenal Dia sebagai Penebus kita. Sejarah yang menebus, sungguh sebuah rancangan yang demikian agung!
Pada akhirnya, sejak sebelum Dia menetapkan dasar bumi, Allah telah memilih untuk lebih dimuliakan dengan menunjukkan kasih, kemurahan dan anugerahNya dalam pemilihan dan penebusan benda-benda rusak yang dipilih dibandingkan dengan sekadar menempatkan mereka di surga sejak awal. Mengapa? Hanya lewat penebusan Allahlah ukuran kasihNya yang seutuhnya dapat dikenal (bdg. Yohanes 15:13). Dan karena Allah dimuliakan melalui pembinasaan kudus dari musuh-musuhnya, maka terdapat juga realita yang memuliakan di dalam salib (Rom. 9:17; Kol. 2:15; bdg. 1 Yoh 3:8). Allah tahu akhir sejak dari awal, karena sejak mulanya Dia telah menciptakan nerakan bagi Iblis dan malaikatnya (Mat. 25:41).
Dalam pertimbangannya akan kejatuhan manusia dan masalah kejahatan, Agustinus pernah menuliskan, "Melius enim iudicavit de malis benefacere, quam mala nulla esse permittere." Terjemahannya berbunyi: "Karena Allah memutuskan lebih baik untuk mendatangkan kebaikan dari kejahatan daripada sama sekali tidak mengijinkan ada kejahatan." Dalam himne "Exsultet" hal ini dikidungkan: "O felix culpa quae talem et tantum meruit habere redemptorem” — "O kesalahan yang menggembirakan, menghasilkan seorang Penebus yang begitu agung.” John Wycliffe (1320-1384) menyebut hal ini sebagai “kejatuhan yang beruntung” dalam sebuah kotbah hari Natal:
Demikianlah, sebagaimana banyak yang mengatakan, semua hal terjadi untuk hal terbaik; karena segala [sesuatunya] berasal dari ketetapan Allah, berarti mereka berasal dari diri Allah sendiri; sehingga semua hal terjadi untuk mendatangkan yang terbaik, apapun hal itu nantinya. Lagipula, ada yang memberikan interpretasi lain, yang berkata bahwa dunia ini menjadi lebih baik dengan adanya segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, apakah itu baik atau jahat, demikianlah kata Gregory [Agung], bahwasanya dosa yang beruntung saat Adam dan keturunannya berdosa yang mengakibatkan dunia ini dijadikan lebih baik; namun pondasi dari kebaikan ini ada dalam anugerah Yesus Kristus [Select English Works of John Wyclif, ed. Thomas Arnold (Oxford: Claredon, 1896), sermon XC, I, 320-21].
John Owen juga menggambarkan realita yang misterius ini: “Kejahatan yang terbesar adalah dosa, dan dosa yang terbesar adalah yang pertama; namun demikianpun Gregory [Agung] tidak takut meneriakkan, "O kesalahan yang menggembirakan, karena darinya kita temukan Penebus yang sedemikian!” [Works, viii, 35]. Dan Thomas Ken (1637-1711), salah seorang penggubah himne Inggris modern menempatkannya seperti ini:
Apa yang oleh Adam adalah sebuah kegagalan,
Diubahkan bagi kita menjadi sebuah kesukaan tak berkesudahan.
O dosa yang menggembirakan, untuknya harus ada yang menggantikan,
Olehnyalah Allah yang berbakti, tahtaNyapun Dia tinggalkan.
Alexander Whyte menyebut Roma 7:14-25 sebagai kumpulan ayat di Alkitab yang paling menghibur. Di sanalah Paulus merenungkan pergumulannya yang berkelanjutan dengan keberdosaan dari dosa pribadinya, namun mengumandangkan dalam Roma 8 kesukaan yang tak berkesudahan dari Juru SelamatNya di tengah-tengah keadaan demikian. Kita dapat melihat hal ini dalam perikop seperti Rom. 8:1 dan dalam Roma 8:35-39:
Karena itu, sekarang tidak ada lagi penghukuman bagi orang yang ada dalam Yesus Kristus.
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan. Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Jadi, jelas hal ini menghiburkan dan menguatkan. Kasih seperti apakah ini? Inilah kasih kekal yang menebus dan penuh kemuliaan!
Kesimpulan
Mengapa Allah menciptakan sebuah dunia dengan kemungkinan masuknya kejahatan mungkin tidak akan pernah sepenuhnya dipahami di sisi kemuliaan saat ini, namun sejarah Alkitab yang menebus dapat menunjukkan bahwa Allah memutuskan sebelum menetapkan dasar bumi bahwa memang lebih baik mendatangkan kebaikan puncak dari kejahatan dari pada sama sekali tidak mengijinkan kejahatan hadir. Respon kita yang terbatas mungkin akan berkata, “Aku sih tidak akan melakukannya seperti itu!” namun kita harus diingatkan bahwa kita dibentuk dari tanah liat yang rusak dan Allahlah Sang Penjunan tanpa dosa, dan siapa kah kita berani melawan Dia! Jangan sampai kita mencoba membatasi kemuliaan yang memang adalah milikNya (bdg. Rom. 9:14-24).
Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi!
Dr. Joseph R. Nally, Jr., D.D., M.Div. is the Theological Editor at Third Millennium Ministries (Thirdmill).