Pernikahan vs. Selibat

Pertanyaan

Ada banyak konfirmasi bahwasanya pernikahan berasal dari Allah. Penyatuan seorang laki-laki dan seorang perempuan tepat sesuai dengan apa yang Allah ciptakan dan nikmati (Ams. 18:22; Pkh. 9:9; Ef. 5:33). Namun di sisi yang lain, keyakinan akan hidup selibat sebagai pilihan yang terbaik untuk dapat sepenuhnya mengabdi kepada Allah juga tidak kalah kuat (1 Kor. 7:32-34,38). Mana yang benar? Mengapa Perjanjian Baru terkadang terlihat kurang menghargai pernikahan di saat Perjanjian Lama dan bagian lain dari Perjanjian Baru justru mengagungkannya? Apakah lebih baik bagi seorang Kristen untuk melajang atau menikah? Dan apa yang Alkitab ajarkan tentang cinta hubungan suami istri?

Jawaban

Selama berabad-abad, gereja pada dasarnya mengajarkan bahwa hidup melajang lebih baik daripada menikah namun tidak semua orang memiliki “karunia melajang.” Artinya, gereja telah mengajarkan bahwa Paulus berpikir bahwasanya hidup melajang dan selibat adalah status yang secara objektif lebih baik untuk pengabdian Kristen kepada Allah dibandingkan pernikahan.

Masalah yang jelas muncul dengan pandangan ini adalah tepat sesuai dengan apa yang anda angkat: hal ini bertolak-belakang dengan Perjanjian Lama.

Bagian yang menjadi masalah paling besar tentang topik ini adalah 1 Korintus 7. Inilah sumber dari pernyataan-pernyataan seperti berikut: 1) adalah baik jika seorang laki-laki untuk tidak berhubungan seksual dengan seorang perempuan; 2) Paulus mengharapkan semuanya dapat tetap melajang seperti dia; 3) lebih baik tidak menikah; 4) mereka yang menikah memiliki hidup yang lebih sulit; 5) mereka yang menikah lebih kurang mengabdi kepada Allah.

Sesungguhnya, interpretasi sedemikian dari bagian ini adalah sepenuhnya salah, karena didasarkan pada kesalahpahaman atas konteks dan situasi saat Paulus menuliskan bagian tersebut. Untuk dapat memahami bagian ini dengan benar kita perlu memperhatikan beberapa hal tentang 1 Korintus terlebih dulu:

1) Suratan ini ditulis sebagai sepucuk surat “untuk keadaan tertentu” — Paulus menuliskan surat ini kepada satu gereja tertentu tentang masalah tertentu yang gereja tersebut sedang hadapi yang disebabkan oleh kondisinya yang unik. Surat ini juga sebagian besar dituliskan sebagai balasan surat yang telah dituliskan jemaat di Korintus kepada Paulus (1 Kor. 7:1).

2) Korintus dan sebagian besar dari wilayah Romawi saat itu sedang menderita kelaparan. Hal ini sesuai dengan sejarah sekuler, dan fakta bahwa Paulus membawa pengumpulan dana bantuan kelaparan bagi Yerusalem (1 Kor. 16:1-4). (Sekalipun jemaat Korintus menderita, ternyata mereka yang berada di Yerusalem sedang menghadapi kelaparan yang lebih berat).

Sekarang perihal beberapa dari pernyataan Paulus:

“Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin.” Ini bukan pernyataan Paulus, namun apa yang disampaikan jemaat Korintus yang kemudian Paulus kutip dan sanggah. 1 Korintus 7:1 diawali (dalam bahasa Yunani) dengan frasa “peri de” (“sekarang perihal”). Paulus menggunakan frasa ini enam kali dalam surat ini, dan dalam setiap keadaan yang lain (7:25; 8:1; 12:1; 16:1,12) dengan segera dia menyampaikan masalah sesuai dengan apa yang ditulis oleh jemaat Korintus yang lalu día tanggapi. Bahkan, hal ini sepertinya adalah penjelasan terbaik dari ayat ini juga. Terjemahan NRSV dan NKJV secara eksplisit (dan tepat) menerjemahkan ayat ini dengan cara ini.

Ayat 2-6 adalah respon Paulus atas pernyataan jemaat Korintus bahwasanya hidup selibat lebih mulia — dan Paulus jelas mengatakan bahwa selibat adalah salah dalam pernikahan. Perintahnya adalah untuk hubungan suami istri: kata kerja “mempunyai” saat digunakan dalam konteks ini maka artinya “hidup seksual dengan.” Berarti Paulus memerintahkan, “baiklah setiap laki-laki (hidup seksual dengan) isterinya sendiri dan setiap perempuan (hidup seksual dengan) suaminya sendiri.

Alasan Paulus berharap semua dapat hidup tidak kawin (selibat) seperti dia dan agar janda tidak kawin lagi (1 Kor. 7:7-9,39-40) adalah karena “waktu darurat” yang disebutkan dalam 7:26 — kemungkinan besar mengacu pada kelaparan yang sedang berlangsung. Kalau tidak, bukan hanya Paulus berlawanan dengan Perjanjian Lama dengan cara mencela pernikahan, dia juga berkontradiksi dengan dirinya sendiri: dalam 1 Timotius 5:14 Paulus memerintahkan janda-janda yang masih muda untuk menikah lagi.

Dalam 1 Korintus 7:26-28, Paulus memberitahukan para pria yang “terikat pada” istri-istri mereka untuk tidak “dilepaskan,” dan tidak mencari istri. Dalam hal ini, pengetahuan akan kosa kata Yunani sangatlah penting. Frasa “terikat pada istri” adalah istilah teknis untuk “bertunangan” — bukan merujuk pada pernikahan yang telah ditahbiskan. "Dilepaskan" berarti "dilepaskan dari ikatan pertunangan." Mereka yang diperintahkan untuk tidak mencari istri adalah bujangan yang belum bertunangan. Paulus tidak mungkin bermaksud bahwa laki-laki untuk terus tetap bertunangan namun tidak akan pernah menikah, karena jika mereka tidak pernah menikah berarti mereka tidak “dilepaskan” secara de facto. Kontrak pernikahan adalah janji untuk menikah. Jika mereka sekadar menunda pernikahan untuk selamanya, maka sesungguhnya mereka tidak pernah menikah — jelas ini pelanggaran atas kontrak tersebut. Ini juga menjelaskan mengapa pasangan dari laki-laki di ayat 27 adalah “perawan” di ayat 28. “Istri” yang sudah menikah bukanlah “anak-anak gadis,” namun “istri” dalam pertunangan tentu masih anak gadis.

Orang-orang yang telah bertunangan ini jugalah yang kembali Paulus bicarakan di 7:36-38 (bandingkan dengan terjemahan NIV dari ayat-ayat ini).

Dia juga berkata bahwa orang-orang yang menikah akan menghadapi “kekuatiran dalam hidup ini.” Namun hal ini bukanlah terjemahan, tapi sebuah interpretasi. Secara hurufiah, bahasa Yunaninya seharusnya diterjemahkan “dalam daging,” seperti versi NKJV. Ini adalah terjemahan yang lebih disukai karena masuk akal sesuai dengan “waktu darurat” saat itu, yaitu, kelaparan. Pernikahan lebih sulit “dalam daging” daripada pertunangan di saat saat kelaparan karena pernikahan membuahkan anak-anak. Di masa kelaparan, lebih banyak mulut yang perlu diberi makan tentunya mendatangkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan fisik, daging.

Paulus juga dianggap mengatakan bahwa orang-orang yang masih melajang mampu untuk dapat lebih mengabdi kepada Allah (7:32-35), namun sama sekali bukan itu maksudnya. Yang dia katakan adalah dia tidak ingin jemaat kuatir atau cemas. Yang lajang kuatir tentang menyenangkan Allah, dan yang menikah kuatir tentang menyenangkan Allah dan pasangan mereka. Kedua jenis kekuatiran ini salah: “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran” (1 Kor. 7:32 NRSV), yang adalah contoh pertama yaitu kekuatiran tentang menyenangkan Allah. Kehadiran ayat 29-31, yang mengajarkan bahwasanya orang Kristen seharusnya memelihara perspektif kekekalan dan bukannya terserap dalam gaya hidup duniawi, semakin menunjukkan bahwa Paulus sedang berbicara tentang kekuatiran yang tidak tepat dalam semua situasi yang disebutkan dalam ayat 32-35. Pengabdian yang tidak terganggu kepada Allah sama sekali tidak membutuhkan hidup melajang, namun perspektif kekekalan dan baik yang menikah dan yang masih lajang tentu punya masalah dalam pengabdian dan perspektif.

Bahkan, dalam 1 Timotius 5:11-15 Paulus mengajarkan bahwa janda muda lebih sulit untuk mengabdi kepada Allah dibandingkan perempuan muda yang telah menikah, sehingga oleh karenanya dia perintahkan janda-janda untuk menikah. Jika kita mengintepretasikan 1 Korintus adalah mengajarkan bahwa hidup melajang dan menjanda lebih kondusif untuk pengabdian kepada Allah dibanding pernikahan, maka Paulus sekali lagi berlawanan dengan dirinya sendiri.

Singkatnya, 1 Korintus 7 hanya mengajarkan kalau Paulus ingin jemaat di Korintus untuk menghentikan perkawinan sementara agar mereka dapat bertahan hidup lebih baik dalam menghadapi “waktu darurat” saat itu. Dia tidak bermaksud memberikan instruksi normatif tentang pernikahan dalam kondisi lainnya. Dia mau pernikahan ditunda hanya sampai krisis berlalu. Namun kepentingan untuk bertahan menghadapi krisis tidaklah cukup besar untuk mengganggu hubungan suami istri bagi yang sudah menikah. Hubungan suami istri begitu penting sehingga pasangan yang telah menikah harus tetap berhubungan seks sekalipun hal tersebut dapat meningkatkan “masalah dalam daging” mereka karena lebih banyak bayi.

Pernyataan Yesus tentang kasim dalam Matius 19 sedikit berbeda. Dia bukan sedang mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan “kasim,” ada begitu banyak yang berpikir bahwa maksud Yesus adalah agar sebagian orang tidak menikah demi mengabdi kepada Allah. Pernyataan itu muncul untuk meresponi keberatan yang ada, “Jika pernikahan seperti ini, lebih baik tidak menikah,” dimana maksud keberatan itu sebenarnya adalah, “Jika aku harus setia kepada istriku dan mengampuni dia, lebih baik tidak usah menikah.” Tentu saja ini adalah keberatan yang berdosa. Yesus tidak bermaksud agar responnya malah dipakai untuk mensahkan hati orang Farisi yang berdosa. Sebaliknya, Dia ingin menunjukkan kepada mereka keberdosaan mereka.

Cukup sulit untuk menentukan bagaimana persisnya respon Yesus menghardik orang Farisi, namun kita mungkin dapat menemukan beberapa wawasan atas hal ini dari kata-kata yang Dia ucapkan. Secara hurufiah, apa yang Yesus katakan adalah sebagian laki-laki telah mengkebiri diri mereka bagi kerajaan Allah — Dia tidak mengatakan bahwa mereka bukan sekadar tetap hidup melajang. Ini adalah bahasa yang keras, sesuai dengan pernyataanNya di pasal sebelumnya (dimana berada dalam konteks langsung) yaitu umatNya seharusnya mencongkel mata mereka, dan memotong tangan dan kaki mereka (Mat. 18:8-9).

Tepat sebelum pengajaran Yesus tentang perceraian, Matius mencatat pengajaran Yesus tentang pengampunan. Kekurangan pengampunan juga terkait dengan “kekerasan hati” yang diderita oleh orang Farisi (Mat. 19:8). Berarti perzinahan, adalah dosa dimana kekerasan hati akan bermuara. Kelihatannya dalam hal ini, hardikan Yesus dapat diartikan sebagai sesuatu seperti ini: “Jika engkau tidak dapat mengampuni istrimu, lebih baik engkau mengebiri dirimu sendiri untuk menghindari masuk dalam perzinahan.” Tentu saja Dia tidak benar-benar bermaksud bahwa laki-laki harus mengebiri diri mereka sama seperti Dia juga tidak bermaksud mereka harus memotong tangan dan kaki. Apa yang Dia maksudkan ialah: “Tinggalkan kekerasan hatimu dan belajarlah untuk mengampuni.”

Kesimpulannya, Yesus tidak mengajarkan manusia untuk tetap hidup melajang, namun agar mereka harus mengampuni, dan Paulus mengajarkan hanya dalam keadaan sulit tertentu dalam kehidupanlah dimana merupakan hal yang bijaksana untuk menunda pernikahan.

Selain hal di atas, Perjanjian Baru juga ikut mengagungkan pernikahan sama seperti Perjanjian Lama, khususnya bagaimana hal tersebut melukiskan pernikahan adalah hal yang melihat Kristus sebagai sasaran puncak kekristenan. Perjanjian Lama tetap sahih, dan pernikahan tetap adalah alat bagi berkat perjanjian untuk memperoleh keturunan. Tidak pernah terjadi pergerakan sejarah yang menebus yang ternyata malah mengubah pernikahan dari sesuatu yang baik menjadi sesuatu yang buruk (Kej. 2:18; Wah. 19:7). Sedihnya, gereja telah menginterpretasikan bagian-bagian ini dengan terlalu sederhana selama ratusan tahun, dan akibatnya banyak orang yang telah tersakiti. Alih-alih merasa bahwa kita telah mengajarkan kebenaran yang sesuai dengan Alkitab, justru kita telah merampas dari diri kita sendiri sumber-sumber luar biasa untuk menerima sukacita dan berkat, dan termasuk telah menimbulkan masalah bagi mereka yang merindukan berkat itu.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A