Roh Kudus dalam Perjanjian Lama dan Baru

Pertanyaan

Bagaimanakah pelayanan Roh Kudus berbeda dalam Perjanjian Lama dan Baru? Apakah Roh Kudus bersemayam dalam hidup kaum percaya secara permanen di Perjanjian Lama, atau Roh hanya menghinggapi mereka untuk tugas-tugas khusus? Apa signifikansi Pentekosta? Apakah inilah saatnya Roh Kudus bersemayam dalam hidup orang percaya? Bagaimana orang percaya di Perjanjian Lama dikuduskan? Apakah melalui menjalankan Taurat, karya Roh Kudus, atau keduanya?

Jawaban

“Bagaimanakah pelayanan Roh Kudus berbeda dalam Perjanjian Lama dan Baru? Apakah Roh Kudus bersemayam dalam hidup kaum percaya secara permanen di Perjanjian Lama, atau Roh hanya menghinggapi mereka untuk tugas-tugas khusus? Apa signifikansi Pentekosta? Apakah inilah saatnya Roh Kudus bersemayam dalam hidup orang percaya?”

Pelayanan Roh Kudus di Perjanjian Lama berbeda dengan pelayananNya di Perjanjian Baru bukan dalam hal jenis namun seberapa besar. Kita dapat memasukkan pelayanan ini dalam dua topik utama: keselamatan dan karunia.

Dalam hal keselamatan, posisi Alkitab jelas yaitu bahwa manusia yang berdosa dilahirkan mati secara rohani dan tidak mampu memiliki iman yang menyelamatkan (mis. sepenuhnya bobrok). Agar dapat dibenarkan (yang adalah bagian dari proses keselamatan), kita harus memiliki iman, dan agar dapat memiliki iman kita harus terlebih dulu “diregenerasikan” atau “lahir baru.” Dalam regenerasi, roh-roh kita dihidupkan, atau diregenerasikan, hanya karena mereka mengambil hidup dari Roh Kudus yang mendiami kita (Rom. 8:9-11); kehidupan rohani kita hanya akan bertahan sepanjang kita didiami oleh Roh Kudus. Sebagaimana di dalam Perjanjian Baru, keselamatan dalam Perjanjian Lama bersifat permanen, membutuhkan persemayaman Roh Kudus secara permanen. Orang kudus di Perjanjian Lama diselamatkan, diregenerasikan dan dibenarkan, dan kemudian mereka memiliki iman. Berarti, mereka didiami oleh Roh Kudus. Dalam hal ini, pelayanan Roh Kudus di Perjanjian Lama sama dengan pelayananNya saat ini.

Terkadang memang membingungkan saat memikirkan tentang Roh Kudus bersemayam secara permanen dalam umat percaya Perjanjian Lama karena Daud berbicara tentang kemungkinan Allah menyingkirkan Roh KudusNya (Mz. 51:11), namun Daud bukanlah berbicara tentang hadirat Allah yang bersemayam. Sebaliknya, dia sedang berbicara tentang pengurapan Allah atasnya sebagai raja. Daud tidak ingin Allah menghukum dia atas dosanya dengan menyingkirkan tahta kerajaan Israel, seperti apa yang lakukan sebelumnya atas Saul.

Dalam hal karunia, Roh Kudus mengaruniakan umat untuk pelayanan di Perjanjian Lama namun dengan cara yang terbatas dibandingkan dengan cara Dia mengaruniakn umat di Perjanjian Baru. Secara utama, karunia khusus Roh Kudus dibatasi atas orang-orang tertentu seperti para nabi, imam dan raja - khsusunya para nabi. Sebagai satu contoh ialah ketika Saul (seorang raja) bernubuat, langsung muncul pertanyaan apakah dia seorang nabi atau bukan (1 Sam. 10:10-11).

Namun Yoel menubuatkan akan tiba hari dimana Roh Allah akan dicurahkan atas semua umatNya, apapun jabatan mereka dalam komunitas perjanjian (Yoel 2:28-29). Persis inilah bagian Firman yang dikutip oleh Petrus dalam kotbahnya pada hari Pentakosta (Kis 2:17-18) agar nubuatan Yoel dapat digenapi: Roh Kudus telah memulai mengaruniakan semua di dalam komunitas perjanjian dengan cara-cara yang menakjubkan, memperlengkapi mereka dengan cara-cara yang sebelumnya hanya terbatas untuk segelintir orang terpilih di Perjanjian Lama. Pentakosta adalah saat ketika Roh Kudus mulai membagikan karunia yang istimewa ini kepada semua orang.

“Bagaimana orang percaya di Perjanjian Lama dikuduskan? Apakah melalui menjalankan Taurat, karya Roh Kudus, atau keduanya?”

Pengudusan memiliki dua aspek yang biasanya disinggung oleh para teolog. Pertama dan yang terutama, ini adalah tentang disisihkan sebagai hal yang kudus bagi Allah, atau yang kita sebut "konsekrasi." Hal ini terjadi hanya satu kali bagi setiap pribadi lewat memasukkan orang tersebut sebagai bagian dari komunitas perjanjian, dan menempatkannya dalam perjanjian dengan Allah (bdg. 1 Kor. 7:14). Bagi kebanyakan di Perjanjian Lama, hal ini terjadi saat kelahiran (dan penyunatan). Dalam Perjanjian Baru, hal ini terjadi saat kelahiran atau menjadi Kristen, yang disertai dengan pembaptisan.

Aspek kedua dari pengudusan yang biasanya diidentifikasi oleh para teolog adalah pemurnian. Hal ini adalah sebuah proses yang terus berkelanjutan sepanjang kehidupan seorang percaya dan melaluinyalah orang percaya dijadikan lebih serupa Kristus. Dalam tradisi Reformed, pengudusan biasanya disebut bersifat “progresif,” yang berarti bahwa keadaan umum dalam kehidupan seorang percaya adalah menjadi lebih benar, semakin kurang berdosa. Ada juga sebuah pandangan minoritas dalam posisi Reformed (pandangan yang saya pegang) yaitu pengudusan bukanlah sebuah proses yang membuat seseorang menjadi semakin benar dalam rentang hidupnya (walaupun seharusnya demikian), namun pengudusan lebih merupakan sebuah proses pemurnian yang terus-menerus terjadi yang memang dibutuhkan oleh karena kita terus menerus berdosa. Pandangan minoritas ini ialah bagaimana dosa kita terus menjadikan kita kurang murni, dan pengudusan terus-menerus memurnikan kita dari dosa tersebut (bdg. 1 Yoh 1:7,9). Hal ini tidak menyangkal ide bahwa orang percaya seharusnya menjadi semakin benar saat mereka menjalankan hidup sebagai orang Kristen, namun lebih menggolongkan ide ini kepada apa yang Alkitab sebut sebagai proses “pendewasaan” dan bukannya hanya sekadar pengudusan yang berdiri sendiri. Jika orang percaya taat kepada Allah, maka pengudusan mereka mungkin saja menjadikan mereka lebih kurang berdosa secara bertahap, namun bukan berarti ini menjadi model bagi semua orang percaya sebelum dimuliakan (dalam Ef. 5:26 pemuliaan adalah tahap puncak pengudusan).

Namun apapun pandangan yang dipegang seseorang atas pengudusan sebagai pemurnian, pertanyaan tentang bagaimanakah orang percaya dikuduskan tetap menggantung. Menurut Paulus dalam Roma 6:19-23, pengudusan terjadi saat orang percaya menundukkan diri mereka sebagai budak atas kebenaran, dan karena mereka telah diikatkan kepada (menjadi budak) Allah. Ide pertama adalah bahwasanya umat percaya aktif dalam pengudusan, dan yang kedua mereka pasif. Bersama, kedua hal ini mengindikasikan bahwa pengudusan adalah anugrah karya Allah (bdg. Fil. 2:13; 1 Tes. 5:23; 1 Pet. 1:2), dan terjadi dengan cara kerja sama kita (bdg. 1 Tes. 4:3-7; 2 Tim. 2:21) dan iman (Kis 26:18).

Dalam Perjanjian Lama, prosesnya sama, sekalipun Perjanjian Lama tidak menggunakan kosa kata yang sama. Dalam Perjanjian Baru, “pengudusan” berasal dari kelompok kata yang berarti “kekudusan” (hagiasmos), "kudus" (hagios), dan "menjadi kudus" (hagiazo). Namun Septuaginta (terjemahan Yunani dari Perjanjian Lama) tidak menggunakan istilah-istilah ini dengan cara demikian. Hampir secara eksklusif Septuaginta membicarakan “pengudusan” sebagai “konsekrasi.”

Saat Perjanjian Lama berbicara tentang pemurnian yang mirip dengan pengudusan di Perjanjian Baru, istilah yang sering digunakan berkaitan dengan “memurnikan” atau “menahirkan,” sering dalam konteks pengampunan (mis. Im. 16:30; Bil. 8:21; Mz. 51:2; Yer. 33:8; Yeh. 36:25,33). Perjanjian Baru mencerminkan istilah ini dalam 1 Yohanes 1:9: Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Dalam bagian ini tetap Allah yang dengan berkemurahan menguduskan, biasanya terjadi sebagai respon terhadap upaya yang manusia lakukan. Sama halnya dalam Perjanjian Baru, pengudusan di Perjanjian Lama juga bukanlah sesuatu yang diperoleh karena usaha manusia, namun merupakan sebuah respon yang diberikan dengan cuma-cuma saat manusia tunduk kepada Allah.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A