Perceraian dan Pernikahan Kembali Penelusuran Kembali

Pertanyaan

Mengapa orang Kristen tidak dapat menikah kembali? Jika mereka telah mencoba untuk menyelamatkan pernikahan mereka namun tetap saja bercerai, memangnya kejahatan apa yang harus mereka bayar? Bukankah 1 Korintus 7:27 mengajarkan bahwa jika seseorang telah terlepas dari seorang istri, maka dia tidak berdosa jika menikah? Konteksnya mengindikasikan bahwa yang terlepas adalah ikatan pernikahan.

Dalam Matius 19, ikatan pernikahan terlihat dapat diputus ketika Yesus merujuk pada pernikahan dan pernikahan kembali sebagai hal yang dapat diterima. Orang Farisi menanyakan sebuah pertanyaan konkrit tentang Hukum Musa (Ul. 24:1-4) dan Yesus menjawab bahwa idealnya adalah, sejak dulunya, satu laki-laki dan satu perempuan untuk seumur hidup. Orang Farisi lanjut bertanya mengapa Musa “memerintahkan” cerai. Jawaban Yesus ialah bahwa perceraian “menzinakan” rancangan ilahi. Zina yang digunakan dengan cara ini ada presedennya yaitu di Yakobus 4:4. Saya benar ragu kalau zina di sini diartikan secara seksual. Zina ialah tidak setia kepada Allah, atau kepada sumpah seseorang (yang dibuat di hadapan Allah). Jika Yesus memang berbicara tentang perzinahan secara lahiriah, berarti perceraian yang Dia singgungpun pastilah hanya kiasan dan tidak nyata.

Baik Paulus dan Yesus mengingatkan dengan tegas untuk tidak bercerai, namun dalam kenyataannya hal ini terjadi. Responnya apa kalau bagitu?

Jawaban

Kejahatan apa yang harus mereka bayar?

Jika ada pasangan yang berusaha menyelamatkan sebuah pernikahan dan gagal, biasanya kegagalan ini berlapis ganda. Termasuk di dalamnya dosa dari masing-masing pasangan yang telah saling menyakiti dan yang hatinya terlalu keras untuk saling mengampuni. Terkadang hal ini sepihak, dan ada kalanya yang satu memutuskan untuk pergi saat yang lainnya masih ingin mencoba. Kewajiban alkitabiahnya adalah untuk terus mencoba, tidak menyerah, sekalipun memang ada izin yang diberikan mengingat kelemahan manusia sehingga orang Kristen dapat berpisah untuk lepas dari kesulitan yang tidak sanggup mereka pecahkan (1 Kor. 7:11).

Sekalipun demikian, larangan untuk menikah kembali bukanlah sebuah hukuman. Jelas hal ini bukanlah sebuah pembatasan yang disukai, namun hal itu tidak menjadikannya sebuah penghukuman. Tidak setiap situasi sulit dalam hidup menjadi pembayaran atas sesuatu kesalahan yang telah kita kerjakan. Kenyataannya, larangan untuk menikah kembali adalah dikerjakan oleh diri sendiri. Pernikahan adalah perjanjian suka rela, bukan suatu keharusan. Hal itu termasuk sumpah untuk tetap menikah dan setia. Ada kalanya hal-hal ini disebutkan secara eksplisit dalam upacara, namun mereka selalu dikenakan secara implisit dalam sebuah pernikahan Kristen karena Allah menuntut pengenaan ini sebagai komponen dari perjanjian pernikahan. Perceraian yang tidak alkitabiah tidaklah memutus perjanjian nikah tersebut. Berarti, larangan untuk menikah kembali bukanlah tentang hukuman melainkan kesetiaan terhadap perjanjian yang masih berlaku. Ini sebabnya mengapa Yesus menyebut hal ini dengan istilah perzinahan (Mat. 19:9).

Bukankah 1 Korintus 7:27 mengajarkan bahwa jika seseorang telah terlepas dari seorang istri, maka dia tidak berdosa jika menikah? Konteksnya mengindikasikan bahwa yang terlepas adalah ikatan pernikahan.

Sebenarnya, bukan itu yang disampaikan oleh 1 Korintus 7:27. Ayat itu berbunyi jika seseorang belum terikat dengan istri, maka janganlah dia menikah, bukan dia bebas untuk menikah. Dan ayat ini berbicara tentang pernikahan pertama (dari perawan) bukan pernikahan kembali. Singkatnya, Paulus berbicara tentang hal mereka yang bertunangan namun belum menikah, dan día memberitahukan mereka untuk jangan menikah dulu. Namun día juga memberitahukan mereka untuk tidak membatalkan pertunangan mereka. “Lepas” merujuk pada kontrak pernikahan yang putus (bukan perjanjian pernikahan yang rusak, karena pernikahan mereka belum sah). Apapun keadaannya, Paulus berkata untuk tidak “lepas” dari kontraknya; día bukan mengijinkan “melepas” dalam hal ini. Baca Pernikahan vs. Selibat dan artikel Haruskah Orang Kristen Menikah? untuk penjelasan detil dari kosa kata yang digunakan Paulus di konteks ini.

Dalam Matius 19, ikatan pernikahan terlihat dapat diputus ketika Yesus merujuk pada pernikahan dan pernikahan kembali sebagai hal yang dapat diterima.

Ya, ikatan pernikahan dapat diputuskan, namun hanya untuk keadaan tidak setia atau kematian. Yesus mengijinkan pernikahan kembali hanya untuk keadaan-keadaan ini (bdg. Markus 12:19ff.).

Jawaban Yesus ialah bahwa perceraian “menzinakan” rancangan ilahi.

Alkitab lazimnya menyebut ketidaksetiaan religius sebagai “perzinahan.” Ketika disebutkan seperti itu, Alkitab berbicara tentang melakukan perzinahan terhadap Allah, suami ilahi kita, dengan cara mengejar ilah-ilah palsu lain. Dalam Yak 4:4, komitmennya terhadap dunia dan bukannya ilah-ilah palsu tertentu, tapi penggunaannya sama secara prinsip. Perjanjian Baru tidak memakai kosa kata “perzinahan” untuk merujuk pada "korupsi" seperti bahasa Inggris.

Apapun keadaannya, makna kata “perzinahan” dalam konteks pernikahan dan perceraian paling alamiah berarti seksual, bukan religius. Lagipula, argumentasi Yesus dibuat berdasarkan fakta bahwa Allah yang menyatukan laki-laki dan istrinya menjadi satu daging (Mat. 19:5). "Satu daging" merujuk pada penyatuan seksual, bukan hanya sebuah perjanjian pernikahan (bdg. 1 Kor. 6:15). Dan ini berlaku selamanya — tidak dibutuhkan relasi seksual yang terus menerus untuk mempertahankan kesatuan ini. Inilah sebabnya mengapa menikah kembali melibatkan perzinahan: pasangan yang menikah kembali telah memiliki penyatuan daging yang masih berlaku dengan bekas pasangannya, termasuk penyatuan daging dengan pasangan yang baru. Penyatuan daging yang baru ini melibatkan perzinahan karena penyatuan daging sebelumnya masih berlaku.

Jika Yesus berbicara tentang perzinahan secara lahiriah, berarti perceraian yang Dia singgungpun hanyalah kiasan dan tidak nyata.

Tidak, perceraian dalam hal ini bersifat sipil namun tidak religius. Artinya, perceraian tersebut diakui oleh masyarakat namun tidak oleh Allah.

Baik Paulus dan Yesus mengingatkan dengan tegas untuk tidak bercerai, namun dalam kenyataannya hal ini terjadi. Responnya apa kalau bagitu?

Yesus dan Paulus keduanya memberikan respon. Jangan menikah kembali terkecuali anda memiliki dasar alkitabiah untuk perceraianmu. Jika anda kekurangan dasar alkitabiah bagi perceraianmu, berdamailah dengan pasanganmu atau tetaplah melajang.

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A