Apakah seorang percaya dapat menginisiasi perceraian dan menikah kembali?

Pertanyaan

Saya membaca komentar Anda tentang teologi perceraian. Saya percaya Anda menjelaskan ide tentang hal ini dengan sangat baik. Namun, saya masih punya pertanyaan yang lain. Dengan menggunakan argumentasi 1 Timotius 5:8, bekas suami istri saya gagal dalam menafkahi keluarganya. Istri saya, seorang Kristen, menceraikan dia karena alasan ini. Menurut analisa anda, orang percaya tidak boleh menginisiasi perceraian, hanya orang “tidak percaya” lah yang dapat melakukannya. Apakah ini berarti pernikahan saya dengannya tidak sah? Dan jika demikian, opsi apa yang saya miliki sebagai seorang Kristen?

Jawaban

Terima kasih atas pertanyaannya!

Kita perlu membedakan dengan jelas antara perceraian yang tidak sah dengan pernikahan yang tidak sah. Sepertinya istri anda tidak memiliki dasar alkitabiah untuk meninggalkan bekas suaminya dan memang tidak seharusnya día menginisiasi perceraian. Namun hal ini tidak berarti bahwa pernikahan anda tidak sah.

Anda tidak menyebutkan apakah bekas suaminya telah menerima disiplin dari gereja. Menurut hemat saya, ini sebuah langkah penting. Gereja haruslah memutuskan bahwa pria tersebut telah mengingkari imannya dengan tindakannya sebelum istri ada dapat secara tepat menganggap dia sebagai seorang tidak percaya. Jika tidak, maka keputusan ini mungkin prematur. Orang percaya manapun dapat jatuh ke dalam dosa apapun, termasuk gagal untuk menafkahi keluarganya. Namun, jika orang tersebut bertobat saat ditegur atau didisiplin oleh gereja, maka dia membuktikan bahwa dirinya benar adalah orang percaya.

Namun kalaupun gereja telah memutuskan bahwa dia adalah orang tidak percaya, tidaklah seharusnya istri anda menginisiasi perceraian. Paulus mengajarkan bahwa orang percaya harus tetap bersama pasangan yang tidak percaya sepanjang pasangan tersebut bersedia untuk tetap menikah (1 Kor. 7:12-13), tentunya dengan melarang perzinahan (Mat. 19:9).

Sekarang, begitu perceraian telah diinisiasi, detil dapat berubah. Seorang tidak percaya yang adalah responden dalam proses pembubaran pernikahan dapat memutuskan apakah dia lebih memilih perceraian atau rekonsiliasi. Ketika hal ini terjadi, orang tidak percaya tidak lagi “bersedia untuk hidup” bersama dengan yang percaya, sehingga yang percaya tidak lagi terikat. Paulus menggunakan istilah orang tidak percaya “berpisah/meninggalkan” (1 Kor. 7:15) bukan untuk mengindikasikan bahwa orang tidak percayalah yang menginisiasi perceraian, namun untuk mengindikasikan bahwa yang tidak percaya tidak lagi bersedia untuk tetap berada dalam pernikahan tersebut.

Jadi, sekalipun jika istri anda telah dengan salah memohon perceraian dari bekas suaminya, perceraiannya tetap sah sepanjang (1) gereja telah memutuskan bahwa bekas suaminya adalah orang tidak percaya, dan (2) bekas suaminya tidak bersedia untuk tetap menikah dengannya. Namun jika tidak satupun dari kedua kondisi di atas telah terpenuhi, maka perceraian istri anda dengan bekas suaminya tidaklah sah, dan saat dia menikahi anda dia melakukan perzinahan (Mat. 19:9).

Namun sekalipun jika perceraiannya tidak sah dan pernikahan anda dengannya adalah perzinahan, hal ini tidaklah berarti mengutuk anda untuk jadinya menjalani hidup dengan perzinahan terus menerus, atau membuat pernikahan anda menjadi tidak sah. Sesaat anda sudah bersetubuh sebagai suami istri, maka bekas suami istri anda memiliki dasar alkitabiah untuk menceraikannya, bahkan sebagai seorang percaya. Sehingga, bahkan jika dia belum dihakimi sebagai seorang tidak percaya, jika pada titik tertentu perzinahan istri anda menjadi alasan dia tidak lagi menginginkan rekonsiliasi, maka pada titik itulah istri anda dibebaskan dari kewajiban perjanjiannya kepada bekas suaminya dan perceraiannya menjadi sah. Atau, jika bekas suaminya telah dihakimi sebagai orang tidak percaya, maka ketidakbersediaannya untuk rekonsiliasi telah menjadi dasar untuk mensahkan perceraian, bahkan jika ketidakbersediaannya tersebut bukanlah hasil dari perzinahan istrinya.

Secara hipotesis, seseorang dapat membayangkan sebuah kasus dimana orang percaya menceraikan dan menikah kembali sekalipun bekas pasangannya terus keberatan. Dalam kasus seperti ini, si orang percaya terus menerus berada dalam sebuah hubungan perzinahan dengan pasangan barunya. Bilangan 30:10-15 mengindikasikan bahwa dalam kasus seperti ini, sumpah pernikahan baru sang istri dibatalkan oleh keberatan dari bakal bekas suaminya, sehingga walaupun negara mengakui pernikahan yang baru, Allah tidak.

(Selain itu, jika seorang wanita yang terus keberatan atas upaya bakal bekas suaminya, maka prinsip Bilangan 30 tetap berlaku. Bilangan 30 memang bergantung pada kepemimpinan suami dalam pernikahan, dimana sang istri tidaklah memiliki hubungan timbal balik yang persis sama. Hal ini memberikan suami kuasa untuk memveto sumpah jenis apapun. Namun, sang istri tetap memiliki otoritas paling tidak atas tubuh suaminya dalam hal seksual [1 Kor. 7:4], dan sumpah pernikahan, di antara hal lainnya, menjanjikan tubuh sang suami dalam hal seksual. Jadi, sang istri paling tidak memiliki otoritas untuk membatalkan sumpah apapun yang dibuat oleh bakal bekas suaminya.)

Sebagai kesimpulan, jika bekas suami istri anda memenuhi semua kondisi yang tidak membebaskan istri anda dari pernikahan mereka dan membatalkan sumpahnya, maka pernikahan anda tidak sah — di mata Allah dia masih menikah dengan bekas suaminya. Namun jika bekas suaminya tersebut belum memenuhi semua kondisi tadi (mis., jika dia tidak menginginkan rekonsiliasi, atau dia tidak terus keberatan atas pernikahan anda), maka pernikahan anda sah dan di mata Allah istri anda menikah dengan anda.

Apakah istri anda melakukan perzinahan atau tidak ketika anda menikahi dia tidaklah berkaitan dengan status pernikahan anda saat ini. Suatu pasangan mungkin telah berzinah dengan melakukan seks pra nikah, namun hal itu tidak berarti pernikahan mereka tidak sah saat akhirnya mereka menikah. Sama halnya, sekalipun semua tindakan perzinahan di masa lalu membutuhkan pertobatan dan pengampunan, tindakan-tindakan tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi pernikahan. Satu-satunya penghalang atas pernikahan adalah perjanjian pernikahan yang masih berlaku dengan (bekas) suaminya.

Jika di mata Allah dia masih menikah dengan (bekas) suaminya, maka pilihan baginya ialah berdamai dengannya atau tetap melajang (1 Kor. 7:11), dan kewajiban anda adalah mengusirnya. Namun jika di mata Allah dia tidak lagi menikah dengan bekas suaminya, maka kewajiban anda adalah memenuhi sumpah pernikahan anda padanya.

Apakah jawaban ini membantu?

Jawaban oleh Ra McLaughlin

Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.

Q&A