Apakah 1 Korintus 7:14 mengimplikasikan bahwa bayi yang telah dibaptis dengan orangtua tidak percaya adalah tidak “kudus” karena kedua orangtua bukan orang percaya? Jika demikian, bagaimana jika ada seorang dewasa yang dibaptis saat masih bayi akhirnya beriman dan ingin dibaptis - bukan karena dia menolak baptisan anak, namun karena orangtuanya bukan orang percaya? Apakah perlu paling tidak satu orangtua adalah orang percaya supaya baptisan anak dapat dianggap “sah”? Dan bagaimana peran nurani dari individu terkait dalam hal ini? Jika orang tersebut tetap menginginkan pembaptisan setelah menerima pengarahan yang benar, bukankah ini adalah sebuah pelayanan bagi si gembala untuk setuju membaptis?
Beragam cabang gereja memang sudah berabad-abad menggumulkan masalah ini. Posisi saya sebagai berikut:
Setiap orang yang adalah bagian dari komunitas umat Allah yang kelihatan (mis. gereja di masa kini, Israel di jaman Perjanjian Lama) berada dalam perjanjian dengan Allah oleh karena keanggotaan komunitas tersebut. Sepanjang pengetahuan saya, di Perjanjian Lama seseorang menjadi “bagian” dari komunitas yang kelihatan saat memang hidup di dalamnya. Khususnya, semua yang lahir sebagai bangsa Israel menjadi bagiannya, semua budak dalam rumah tangga bangsa itu juga berbagian di dalamnya (Kej. 17:10-13), dan semua pendatang yang dengan sukarela makan dalam jamuan Paskah juga ikut menjadi bagiannya (Kel. 12:48). Semua laki-laki dari semua kategori ini diharuskan untuk disunat, tanpa merujuk pada iman mereka, iman orangtua mereka, iman tuan mereka, dll. Keturunan Israel yang tidak percaya bisa saja muncul dan hilang tanpa melupakan persyaratan penyunatan mereka, tanpa validitas dari penyunatan mereka dipertanyakan, dan tanpa mereka berhenti sebagai umat Allah (mis. “kudus”).
1 Korintus 7:14 adalah sebuah ayat penting untuk menunjukkan bahwa anak kaum percaya memang kudus (hagios), dan oleh karenanya mereka adalah bagian dari gereja (bdg. 1 Kor. 1:2: "dikuduskan" dari hagiazo, dan "orang-orang kudus" dari hagios). Namun ini juga adalah sebuah ayat yang rumit. Konteksnya berkaitan dengan pernikahan, bukan anak-anak - satu-satunya lokasi dimana anak-anak disebut hanyalah satu kali pada ayat 14b. Paulus tidak melanjutkan pemikiran ini, dan makna sepenuhnya dari ayat ini kelihatan cukup sulit. Jelas tertera bahwa anak-anak dari “pernikahan campuran” adalah kudus. Yang tidak jelas tertera adalah mengapa mereka kudus. Jika ini diterapkan pada masalah baptisan, maka artinya ibu yang percaya yang diceraikan suaminya tidak dapat membaptiskan anaknya, namun ibu yang percaya yang tetap menikah dengan suaminya yang tidak percaya dapat membaptiskan anak-anaknya. Argumentasi yang sama dapat digunakan untuk melarang pembaptisan bagi anak-anak orang percaya yang menceraikan orang tidak percaya.
Namun keanehan dari kedua argumentasi ini adalah bahwa mereka menjadikan kekudusan anak-anak tergantung pada status pernikahan orangtua mereka dibandingkan dengan partisipasi anak-anak tersebut dalam komunitas perjanjian. Hal ini tidak sesuai mengingat latar belakang Perjanjian Lama yang tidak pernah menyinggung tentang penyunatan dalam hal status pernikahan.
Di sisi yang lain, Paulus bisa juga sedang menggunakan fakta yang sudah diterima bahwa anak-anak orang percaya itu kudus berdasarkan argumentasinya bahwa pasangan yang percaya menguduskan pasangan yang tidak percaya. Artinya, dia menyebutkan tentang kekudusan anak-anak hanya untuk menunjukkan prinsip bahwa satu orang percaya dalam rumah tangga menjadikan seisi keluarga kudus. Dengan melihat kepada ayat 14a, hal ini cukup masuk akal: fakta bahwa anak-anak kudus mendukung argumentasinya bahwa pasangan yang tidak percayapun juga kudus. Kita dapat menyimpulkan seperti ini: “Jika seorang pasangan yang tidak percaya tidak dapat dijadikan kudus oleh pasangan yang percaya, maka anak-anakpun tidak dapat dijadikan kudus oleh pasangan yang percaya. Namun sesuai keadaannya, anak-anak dijadikan kudus oleh pasangan yang percaya, berarti pasangan yang tidak percaya juga dijadikan kudus dengan cara seperti ini.” Dengan demikian, ayat ini sama sekali tidak berbicara tentang kekudusan atau ketidak-kudusan anak-anak dalam keluarga yang berantakan, dan juga sama sekali tidak berbicara tentang anak-anak dalam keluarga dimana kedua orangtuanya tidak percaya. Secara pribadi, saya rasa interpretasi ini lebih baik.
Namun pertanyaan yang dihadapi gereja kuno di Korintus bukanlah yang kita hadapi saat ini. Paulus menuliskan 1 Korintus untuk gereja generasi pertama. Sepertinya, tidak ada satu pun keluarga di gereja tersebut dimana kedua orangtua bukan orang percaya. Untuk alasan inilah, Paulus tidak membicarakan situasi yang berpotensi muncul tersebut, yang berarti kita harus menyimpulkan apa yang akan dia sampaikan untuk konteks jaman ini dari apa yang telah dia sampaikan.
Kita dapat menganggap bahwa terdapat keluarga berantakan di Korintus, dan bahwa beberapa orangtua yang percaya memiliki anak-anak bersama bekas pasangan yang tidak percaya. Bagaimana dengan anak-anak ini? Ya jika penilaian saya akan ayat 14 benar, maka anak-anak tersebut tetaplah kudus, karena memang mereka dijadikan kudus oleh karena relasi mereka dengan orangtua yang percaya.
Kini tiba bagian yang menantang: jaman sekarang kita memiliki pasangan tidak percaya yang ingin membaptis anak-anak mereka. Kedua orangtua bukanlah orang percaya, jadi siapa yang menjadikan anak-anak mereka kudus? Untuk hal ini saya banyak bergantung pada contoh Perjanjian Lama untuk mendapatkan wawasan dan perbandingan. Dalam Perjanjian Lama, orangtua yang tidak percaya tetap kudus sepanjang mereka adalah bagian dari komunitas umat Allah yang kelihatan, sama seperti pasangan yang tidak percaya adalah kudus dalam 1 Korintus 7 selama dia tetap tinggal dalam komunitas gereja yang kelihatan (oleh karena orang percaya yang ada dalam rumah tangga tersebut). Namun di Perjanjian Lama, tidak semua yang menjadi kudus dengan cara ini tetap terus menerus kudus - mereka dapat dipisahkan dari komunitas perjanjian sehingga oleh karenanya menjadi tidak kudus (Kej. 17:14). Anak-anak mereka juga tidak kudus sepanjang mereka belum direstorasikan ke dalam komunitas. Saya akan mengaplikasikan terhadap baptisan seperti ini: orangtua yang tidak percaya adalah kudus jika mereka tetap menjadi bagian dari komunitas gereja yang kelihatan, sehingga anak-anak mereka jugalah kudus dan pantas menerima pembaptisan. Orangtua yang tidak percaya yang tidak lagi menjadi bagian dari komunitas gereja yang kelihatan tidak lagi kudus, dan anak-anak mereka tidak kudus dan tidak boleh dibaptis.
Singkatnya, saya akan menggantungkan baptisan anak pada keanggotaan orangtua mereka di gereja yang kelihatan, bukan pada iman orangtua mereka. Saya merekonsiliasikan hal ini dengan apa yang Paulus sampaikan tentang iman di 1 Korintus 7 dengan memperhatikan bahwa: 1) Paulus mengangkat pertanyaan tentang iman bukan untuk membicarakan soal kekudusan, tapi untuk memperjelas masalah pernikahan mana yang sedang dia bicarakan; dan 2) Paulus berasumsi bahwa seorang percaya dalam keluarga menempatkan keluarga tersebut dalam komunitas gereja yang kelihatan. Pendekatan ini memiliki keuntungan untuk menyingkirkan spekulasi tentang iman orangtua dalam hal pembaptisan. Perhatikan bahwa posisi saya lebih luas dari yang kebanyakan diijinkan oleh gereja Reformed, karena secara tradisi mereka mengharuskan ada orangtua yang percaya.
Pertanyaan tentang pembaptisan ulang muncul ketika si anak percaya bahwa baptisan sebelumnya tidak sah. Dalam skema saya, perihal validitas lebih mudah ditunjukkan. Apakah orangtuanya anggota dari gereja yang kelihatan? Jika ya, maka baptisannya sah.
Namun ini tidaklah menjawab setiap pertanyaan; ketidak-sahan akan tetap sulit untuk ditunjukkan. Misalnya, bagaimana jika dua orang tidak percaya yang bukan anggota sebuah gereja membaptiskan anak mereka oleh gereja yang sah? Apakah anak tersebut sekarang anggota perjanjian? Pertanyaan ini sama dengan yang muncul dalam kasus pentahbisan perempuan, yang tidak saya setujui kecuali dalam kondisi yang sangat tidak lazim: Jika sebuah gereja kelihatan yang sah secara salah mentahbiskan seorang perempuan, apakah pentahbisannya tidak sah? Sebagai perbandingan, saya menanyakan hal ini: Jika sebuah gereja secara salah mentahbiskan seorang laki-laki yang tidak memenuhi syarat, apakah lelaki tersebut tetap ditahbiskan secara sah? Saya akan menjawab ya untuk pertanyaan terakhir, yang membuat saya juga menjawab ya untuk pertanyaan kedua. Kedua jawaban ya ini mendorong saya untuk menjawab ya atas pertanyaan orang tidak percaya yang bukan anggota gereja yang telah membaptiskan anak mereka, namun pertanyaan ini memang jauh lebih rumit. Tetap saja saya tergoda untuk mengatakan bahwa sampai gereja membatalkan anak yang telah dibaptis, maka anak itu kudus dan baptisannya sah. Gereja memang tidak boleh menawarkan pembaptisan bagi mereka yang bukan bagian dari komunitas perjanjian, namun jika memang sudah terjadi, menurut hemat saya gereja tersebut sudah mengadopsi mereka ke dalam komunitas dengan cara yang tidak lazim namun secara teknis sah.
Khusus untuk topik pembaptisan ulang, saya pribadi tidak akan membaptis ulang jika saya percaya baptisan sebelumnya sah. Saya hargai kekhawatiran tentang nurani orang percaya terkait yang merasa bahwa pembaptisan ulang diperlukan, namun saya percaya ini adalah bagian dari tugas gembala untuk melindungi kemurnian gereja dengan memastikan bahwa sakramen yang ada dijalankan dengan benar. Pembaptisan ulang bukanlah pelaksanaan sakramen yang benar, terlepas dari bagaimana perasaan si pendaftar. Dalam hal ini, keyakinan pribadi saya adalah untuk memperbaiki nurani si orang percaya ketimbang untuk mengubah sakramen. Ibaratnya, saya tidak akan menyetujui seorang percaya yang ingin mempersembahkan korban darah untuk penebusan sekalipun nuraninya mungkin mendorong dia untuk melakukan tindakan tersebut (walaupun saya yakin sepenuhnya pelanggarannya lebih kecil dalam pembaptisan ulang dibandingkan korban darah!)
Ra McLaughlin is Vice President of Finance and Administration at Third Millennium Ministries.